Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Jangan Salah Kaprah! Pemanggilan Pemain Keturunan Bukan Naturalisasi

Pada tulisannya itu, ia menjelaskan bagaimana peta pergerakkan bangsa-bangsa di dunia terjadi sejak lama dan semakin cepat sekitar 50 tahun terakhir.

“Bagaimana orang-orang Afrika datang ke Eropa dan kemudian menjadi bagian dari bangsa Eropa atau bagaimana orang-orang Amerika Selatan datang ke Eropa dan menjadi bagian dari bangsa Eropa, atau sebaliknya.”

Mas Bambang—demikian saya memanggilnya—jelas merasa bahwa batas negara masa kini hanyalah batas yang ilusional, yang tak tampak dan yang seharusnya tidak lagi pantas dipermasalahkan.

Pada masanya sebelum menjadi Indonesia, Nusantara adalah gugusan pulau yang menjadi daya tarik besar bangsa Eropa.

Kolonialisme Belanda membuat peta kedatangan bangsa-bangsa lain dari belahan bumi lain adalah hal biasa.

Sebuah catatan yang pernah saya temukan di perpustakaan Leiden Universiteit menunjukkan, pernah terjadi gelombang kedatangan bangsa Polandia dan areal Balkan ke Hindia Belanda dan kebanyakan di antaranya masuk dari Batavia.

Artikel yang dilengkapi dengan foto-foto usang awal abad 20 menunjukkan banyak orang Eropa mendarat di Sunda Kelapa masih dengan pakaian khas asal mereka.

Foto-foto yang secara identitas serupa dengan foto-foto gelombang kedatangan bangsa Eropa ke pelabuhan New York di sekitar era waktu yang sama.

Beberapa waktu lalu, ketika sedang meriset sebuah project bagi layanan streaming baru milik FIFA yang akan mulai beroperasi pada Februari 2022, saya juga menemukan sebuah majalah Indonesia terbitan 1953.

Majalah itu menampilkan Miss Indonesia yang berayah Polandia dan beribukan Jepang.

Kebangsaannya jelas Indonesia, karena kedua orang tuanya memang WNI tulen bahkan jauh sebelum proklamasi 1945 atau bahkan Soempah Pemoeda diikrarkan.

Hindia Belanda faktanya adalah sebuah hub penting bagi dunia saat itu. DW Beretty si pendiri (cikal bakal) kantor berita Antara adalah keturunan Italia dan Jawa, bisnisnya menggurita sampai New York di awal 1920-an.

Bahkan kematiannya pun adalah karena kecelakaan pesawat saat kembali ke Indonesia setelah perjalanan bisnis panjang di Eropa.

Pada suatu masa kita adalah bagian dari dunia, lalu mengapa hari ini kita selalu merasa inferior terhadap apapun yang berbau luar negeri?

Saya tak pernah mampu menemukan jawabannya, jika pun coba menjabarkannya biasanya selalu ada saja yang merasa pendapat saya tak pantas.

Faktanya, sejak program nasionalisasi sekitar 1955, negeri yang sudah bernama Indonesia ini menjadikan semua aset milik Belanda dan asing lainnya masuk ke pelukan negara.

Niatnya tentu bagus karena negeri baru dan besar ini perlu membangun dan mengisi pundi-pundi kasnya agar bisa mensejahterakan rakyatnya.

Cover National Geographic tahun 1955 dengan cover Bung Karno menunjukkan potensi dahsyat negeri ini. Hutan luas di Kalimantan, emas di Jawa dan Sulawesi, minyak di Sumatera dan tentu saja potensi wisata yang bisa dihasilkan.

Indonesia disebut sebagai sebuah negara yang siap jadi raksasa.

50 tahun kemudian, majalah yang sama memberikan cover yang sama. Bedanya, kali ini berisikan kisah kegagalan negeri ini.

Berpindahnya aset-aset tadi ke tangan negara diikuti dengan pengusiran banyak orang-orang yang dianggap asing, terutama kulit putih.

Juga di perpustakaan Leiden, saya pernah menemukan sebuah artikel tentang mereka yang terusir dari negeri yang mereka cintai yaitu Indonesia.

Seorang lelaki berayah Jerman beribu Perancis yang tadinya bekerja di kantor pos di Semarang, pindah ke Jakarta pasca-proklamasi.

Kemudian, dia pindah ke Makassar pasca-Konferensi Meja Bundar 1949, dan harus rela diusir dari tanah kelahirannya dan pergi ke tanah yang ia sama sekali tidak pahami yaitu Eropa.

Kisah lainnya, seorang perempuan keturunan Polandia dan Italia di Garut, terpaksa pergi dari rumahnya di Bandung dan kembali ke tanah leluhurnya di Eropa, dan banyak kisah-kisah lain.

Sudah lama saya selalu penasaran, bagaimana negara yang lama berhubungan dengan bangsa Eropa ini, kini menjadi gamang jika sudah bicara soal orang Eropa.

Kisah di atas mungkin bukan jawaban tepatnya, tetapi kita seperti tercerabut dari sejarah kita sendiri, sesuatu yang telah membentuk banyak peradaban kita sendiri.

Makanya ketika orang-orang macam Ezra Walian, Sandy Walsh, Jordi Amat dan yang lainnya, diajak membela tanah nenek moyangnya, banyak dari kita merasa keberatan.

Fakhri Husaini, yang pernah menjadi pelatih tim usia muda Indonesia dan mantan pemain nasional terkemuka di eranya, pun menyatakan rasa keberatan yang sama.

Padahal apa sih salahnya? Pada konteks sepak bola, tim nasional Inggris sekalipun diisi nama seperti Bamidele Ali atau Bukayo Saka yang jelas bukan nama Inggris.

Clarence Seedorf bahkan tidak lahir di Belanda, tetapi jelas ia adalah pemain besar Belanda dan bukan Jamaika.

Pelatih yang kini melatih Persiba Balikpapan itu jelas tidak sendirian. Banyak sekali pemegang KTP Indonesia mempertanyakan keputusan pemanggilan para keturunan ini dan sering dengan salah kaprah menyamakannya dengan naturalisasi.

Padahal ada hal jauh, jauh dan sangat jauh lebih penting untuk dibicarakan, yaitu seperti apa sih sebetulnya sepak bola kita dijalankan?

Deco Souza lahir di Brasil dan datang ke Portugal sebagai orang Brasil, yang bekerja sebagai atlet sepak bola di negara mantan penjajahnya.

Di Portugal, ia lalu mendapatkan status bintang yang membuatnya punya kesempatan masuk tim nasional dan ikut Piala Dunia.

Deco seperti kemudian Pepe, jelas mengambil pilihan itu, karena penghidupan mereka jadi lebih baik di Portugal, apalagi kesempatan tampil di Piala Dunia ada di depan mata.

Pada masa lalu, legenda terbesar Portugal pun kelahiran Mozambique yang adalah koloni mereka.

Lalu apakah Portugal tidak menghasilkan pemain hebat kelas dunia yang memang lahir di negeri itu?

Sebut Paulo Sousa, Rui Costa, Fernando Gomes, Paolo Futre, Cristiano Ronaldo sampai Joao Cancelo. Semua adalah produk asli Portugal, lahir di sana, dikembangkan oleh dunia sepak bola mereka, dibina, dibimbing dan dikembangkan untuk lalu jadi bintang besar.

Jadi ketika jarak antarnegara menjadi sebuah keniscayaan, mengapa kita malah mempermasalahkannya?

Yang harus menjadi bahan perbaikan bukan kedatangan kembali orang-orang itu, tetapi mengapa kita tidak juga mampu menghasilkan orang-orang seperti mereka, yang walau cuma bermain di Heracles tapi bisa menarik minat kita untuk merekrut mereka.

Andaikan Jordi Amat, Elkan Baggot atau siapa pun itu besar di Indonesia, apakah mereka bisa mencapai level mereka saat ini?

Atau kalau mau lebih sadis, Lionel Messi akan jadi apa kalau misal dia lahir di Bekasi dan kemudian direkrut oleh tim besar dari Jakarta, Bandung atau Surabaya, akankah dia masih menjadi pemain sebesar ini?

“Kita memang dilahirkan di Bumi, tapi tidak ada aturan yang menyebutkan kita harus berkehidupan dan kemudian mati di Bumi, alam terlalu luas untuk tidak kita arungi,” ujar Cooper di film Interstellar.

https://bola.kompas.com/read/2021/11/16/16304828/jangan-salah-kaprah-pemanggilan-pemain-keturunan-bukan-naturalisasi

Terkini Lainnya

Subaru Catat Prestasi di JDM Run Time Attack

Subaru Catat Prestasi di JDM Run Time Attack

Sports
Indonesia Vs Irak: Klimaks Sesungguhnya untuk Garuda, Sulit Diprediksi

Indonesia Vs Irak: Klimaks Sesungguhnya untuk Garuda, Sulit Diprediksi

Timnas Indonesia
Piala Asia U23 2024: Penilaian Pemain Irak Soal Skuad Garuda Muda

Piala Asia U23 2024: Penilaian Pemain Irak Soal Skuad Garuda Muda

Timnas Indonesia
Link Live Streaming Timnas Indonesia Vs Irak di Piala Asia U23 2024

Link Live Streaming Timnas Indonesia Vs Irak di Piala Asia U23 2024

Timnas Indonesia
Menpora Kunjungi Al Nassr, Bahas Kans Jadi Tuan Rumah Piala Dunia U20

Menpora Kunjungi Al Nassr, Bahas Kans Jadi Tuan Rumah Piala Dunia U20

Sports
Piala Asia U23 2024: Magi STY Disorot Pelatih Irak, Indonesia Wajib Dihormati

Piala Asia U23 2024: Magi STY Disorot Pelatih Irak, Indonesia Wajib Dihormati

Timnas Indonesia
Al Nassr Vs Al Khaleej 3-1: Voli Ronaldo Sakti, Faris Najd Tembus Final

Al Nassr Vs Al Khaleej 3-1: Voli Ronaldo Sakti, Faris Najd Tembus Final

Liga Lain
Parma Promosi, Buffon dan Dino Baggio Beri Ucapan Menyentuh

Parma Promosi, Buffon dan Dino Baggio Beri Ucapan Menyentuh

Liga Italia
5 Poin Penting dari Jumpa Pers STY-Rio Fahmi Jelang Irak Vs Indonesia

5 Poin Penting dari Jumpa Pers STY-Rio Fahmi Jelang Irak Vs Indonesia

Timnas Indonesia
Jadon Sancho Jadi Bintang Dortmund: 12 Dribel Tuntas, Setara Messi

Jadon Sancho Jadi Bintang Dortmund: 12 Dribel Tuntas, Setara Messi

Liga Champions
Piala Asia U23 2024: Irak Mata-matai Timnas Indonesia, Waspada Pemain dari Eropa

Piala Asia U23 2024: Irak Mata-matai Timnas Indonesia, Waspada Pemain dari Eropa

Timnas Indonesia
Kemenangan Dortmund Kunci 5 Slot Bundesliga di Liga Champions Musim Depan

Kemenangan Dortmund Kunci 5 Slot Bundesliga di Liga Champions Musim Depan

Bundesliga
Hasil Dortmund Vs PSG 1-0: Gol Fullkrug Bawa BVB Menang

Hasil Dortmund Vs PSG 1-0: Gol Fullkrug Bawa BVB Menang

Liga Champions
Parma Kembali ke Serie A Sementara Jay Idzes Cetak 2 Gol bagi Venezia

Parma Kembali ke Serie A Sementara Jay Idzes Cetak 2 Gol bagi Venezia

Liga Italia
Borneo FC Singgung Wasit, Alarm Bahaya Jelang Babak Championship Series

Borneo FC Singgung Wasit, Alarm Bahaya Jelang Babak Championship Series

Liga Indonesia
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke