Sejarah berulang, juga dalam dunia sepak bola. Pada 44 tahun lalu dalam pertandingan final Piala Dunia 1966, Inggris melawan Jerman, terjadilah peristiwa Wembley. Dan sekarang di Piala Dunia 2010 terjadilah peristiwa yang mirip Wembley, di Bloemfontein.
Waktu itu di Wembley, gol Geoff Hurst disahkan oleh wasit, padahal bola tidak jatuh di belakang garis gawang Jerman. Sekarang di Bloemfontein, bola tendangan Frank Lampard, yang jelas sudah jatuh di belakang gawang Jerman, tidak dianggap gol baik oleh wasit Jorge Larrionda maupun hakim garis Mauricio Espinosa. Andaikan bola Hurst di Wembley, yang memang bukan gol itu tidak diakui oleh wasit sebagai gol, mungkin saja Jerman menjadi juara dunia. Dan andaikan bola Lampard yang memang gol itu diakui oleh wasit sebagai gol, mungkin saja Inggris berpeluang memukul Jerman. Namun, apa mau dikata, sejarah menghendaki Wembley menjelma menjadi Bloemfontein. ”Setelah skor menjadi 1-2, kami bermain dengan baik. Sangat penting bagi kami, gol kedua itu diakui. Kedudukan akan menjadi 2-2. Memang kami membuat kesalahan. Namun, wasit telah membuat kesalahan yang jauh lebih besar,” kata Fabio Capello. David Beckham juga ikut geregetan dan memaki wasit, ”Kamu sungguh memalukan.” Pihak Jerman pun fair mengakui bahwa bola Lampard itu gol. Kata kiper Manuel Neuer, ”Saya hanya memandang bola tendangan Lampard, meraihnya lalu melemparnya ke depan. Kalau saya menoleh ke kiri dan ke kanan, wasit mungkin akan berpikir lain. Mungkin saya ikut andil untuk membuat gol itu menjadi bukan gol.” ”Bola memang di belakang garis gawang. Seharusnya itu diputuskan sebagai gol,” kata Joachim Loew. ”Tak ada yang lebih jelas daripada itu. Bola toh jatuh hampir setengah meter di belakang garis gawang. Hakim garis mestinya melihat itu,” kata Franz Beckenbauer. Beckenbauer menyebut peristiwa di Bloemfontein itu ”ironi sejarah”. ”Untunglah Jerman masih sempat membuat dua gol lagi. Tambahan dua gol ini tentu bisa mengurangi sengitnya perdebatan selanjutnya,” kata Beckenbauer. Namun, lain lagi kata Wolfgang Overath (66), veteran Jerman, yang mengalami sakitnya terpental di final Piala Dunia 1966 karena gol Wembley yang sebenarnya tidak pernah ada itu. ”Dengan peristiwa di Bloemfontein itu, orang melihat bahwa masih ada keadilan dan bahwa masih ada pula Tuhan di langit atas, yang akhirnya membalas semuanya. Juga bila itu semua harus kita nanti dengan demikian lama. Dengan begitu, perkara Wembley akan dilupakan walau bagi kami, sebenarnya terjadi hal yang lebih jelek karena kemalangan itu menimpa kami justru di pertandingan final,” kata Overath. ”Gol” Bloemfontein adalah gol Wembley yang terulang. Memang dalam sejarah bola kerap terulang peristiwa yang lama. Sejarah bola tidak selalu baru, persis seperti apa yang terjadi dalam sejarah manusia sendiri. Benarlah kata-kata Kitab Pengkhotbah: Apa yang akan ada, akan ada lagi, dan apa yang pernah dibuat, akan dibuat lagi: Nihil sub sole novum (Tak ada sesuatu yang baru di bawah matahari). Justru karena dalam bola bisa terjadi ketidakadilan yang terulang, bola menjadi bagian dari sejarah. ”Seandainya wasit melihat bola Lampard itu masuk….” Bagi orang Inggris, kata ”seandainya” itu akan selalu menjadi ”seandainya”, seperti bagi orang Jerman yang selalu bilang, ”seandainya bola Geoff Hurst itu tak dianggap gol”. Kata ”seandainya” itu akan terus diingat, berulang-ulang dibicarakan, menjadi abadi, dan menjadi bagian dari mitos bola. Itulah sebabnya tragika bola juga menjadi bagian dari tragika sejarah manusia.