SUBJUDUL "Kaisar Jerman terakhir" (FAZ, 8/01/2024) tertera dalam tulisan Michael Horeni untuk mengenang Franz Beckenbauer yang baru saja meninggal dunia pada 7 Januari 2024.
Prestasi Beckenbauer dalam dunia sepak bola cukup unik. Sebagai pemain, Beckenbauer berhasil mengantarkan tim nasional Jerman Barat merebut Piala Dunia 1974.
Sebagai pelatih, Beckenbauer berhasil mengantarkan tim nasional Jerman menjuarai Piala Dunia 1990.
Prestasi yang unik sebagai pemain dan pelatih yang berhasil merebut Piala Dunia hanya dapat disamai oleh Mario Zagallo dari Brasil.
Uniknya lagi, Zagallo meninggal dua hari sebelum Beckenbauer meninggal. Pada 5 Januari 2024, Zagallo mendahului Beckenbauer.
Mengapa Beckenbauer dijuluki sang Kaisar? Ada berbagai macam versi terkait hal tersebut.
Menurut Beckenbauer, ini semua bermula ketika dirinya berfoto di samping patung Kaisar Franz Josep di Wina pada 1976. Foto ini kemudian diberi judul "Aku dan sang Kaisar". Dari sinilah kemudian, julukan Kaisar mulai dilekatkan kepada Beckenbauer.
Mengagumi Beckenbauer berbeda dengan mengagumi Lionel Messi atau Cristiano Ronaldo. Messi dan Ronaldo memiliki skill yang luar biasa. Orang begitu mudah terpesona dengan gocekan bola, kecepatan, dan torehan banyak gol. Ini adalah hal yang kasat mata terlihat di lapangan dan selalu menjadi sorotan kamera.
Mengagumi Beckenbauer adalah mengagumi peran pemain di atas lapangan yang jarang disorot oleh kamera.
Beckenbauer tidak memiliki skill sehebat Lionel Messi atau Johan Cruyff pada eranya. Beckenbauer adalah seorang libero.
Posisi libero sudah ditinggalkan di dalam sepak bola modern. Libero adalah pemain terakhir di depan kiper. Seorang libero menempatkan posisinya di belakang stopper dan wing back.
Selain menjaga bentang pertahanan, Beckenbauer adalah seorang dirigen dan pemimpin yang mengendalikan permainan.
Di final Piala Dunia 1974, sang libero Beckenbauer berhasil menjinakkan kehebatan Johann Cruyff dengan tarian "total football"-nya.
Inilah teka-teki dari sepak bola. Tim terbaik tidak selalu menjadi juara. Belanda bermain lebih cantik, tetapi Jerman bermain lebih efektif dan efisien.
Di ajang final Piala Dunia 1974, dewi fortuna berpihak pada kesebelasan yang bermain dengan efisiensi dan efektif.