Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Raja Sapta Oktohari
Ketua Komite Olimpiade Indonesia

Ketua Umum BPP HIPMI periode 2011-2014, PB ISSI 2015-2019, Chief de Mission Indonesia for Rio 2016 Olympic, Indonesia Asian Paralympic Games 2018 Organizing Committee (INAPGOC) Chief, Ketua Komite Olimpiade Indonesia/National Olympic Committee of Indonesia (NOC Indonesia) President periode 2019-2023 dan periode 2023-2026.

Strategi Mengangkat Prestasi Olahraga Indonesia

Kompas.com - 27/05/2024, 09:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Itu artinya orientasi terhadap kualitas, termasuk pula soal pelatihan dan pembinaan atlet sejak usia dini secara berjenjang dan berkelanjutan belum menjadi prioritas utama.

Kedua, persoalan pelatih. Keberadaan pelatih profesional dan berlisensi di Indonesia di hampir semua cabang olahraga masih belum memadai.

Pada sisi lain, kerap kali ditemukan, ada banyak yang karena dulunya atlet merasa bisa melatih dan bila kebetulan berhasil kemudian dijadikan sebagai pelatih.

Padahal pelatih atau kepelatihan itu ada standar dan tahapannya. Ada pelatih level 1, level 2, dan level 3 diploma. Sehingga distribusi pelatih pun disesuaikan dengan level tim yang akan atau sedang ditangani.

Di Indonesia kebanyakan pelatih yang masih di level 1 tidak mau mengikuti program atau mengambil lisensi, sehingga tidak ada sertifikasi standarisasinya.

Sekalipun terkadang ada faktor keberuntungan, tapi bukan berarti harus meninggalkan regulasi atau standarisasi yang tentu saja penting dan mendasar.

Pelatih harus memiliki metode pelatihan, baik itu yang diciptakan sendiri maupun hasil dari proses pembelajaran dari kurikulum yang standar, termasuk harus mengikuti perkembangan dari regulasi maupun peraturan, sehingga tidak menyimpang atau keluar dari yang sedang berlaku atau yang ter-update.

Pelatih juga harus tahu bahwa yang perlu dilakukan atlet tidak saja latihan atau berlatih, tapi juga memerlukan istirahat, recovery, keterpenuhan nutrisi atau asupan makanan bergizi, dan juga psikologisnya.

Untuk yang terakhir (psikologi) penting, karena ketika ada dalam persaingan tingkat tinggi, seperti di Olimpiade, tekannya psikologisnya begitu besar, sehingga psikologis kuat.

Dalam banyak pengalaman, ketika berkompetisi, atlet profesional pun bisa demam panggung atau gugup dan grogi.

Ketiga, persoalan wasit. Ini satu hal yang juga penting dan mendasar, sementara di Indonesia sering kali diabaikan.

Padahal wasit sejatinya punya level dan peraturan yang diatur oleh federasi internasional masing-masing. Ada pula klasifikasinya, ada wasit nasional, ada wasit elit dan wasit internasional.

Rata-rata wasit nasional ujiannya di Indonesia. Kemudian menjadi persoalan adalah sejumlah pelatihan dan ujian sertifikasi wasit yang dibuat di Indonesia, dalam hal ini oleh Kementerian Olahraga dengan pesertanya perwakilan dari berbagai provinsi kerap kali asal-asalan atau kurang berkompeten.

Dampaknya bisa kita lihat. Sebagai tuan rumah Asian Games dan Asian Para Games tahun 2018, Indonesia terpaksa harus mendatangkan wasit dari negara tetangga karena kualitas wasit Indonesia kebanyakan masih di level nasional dan belum siap berada di evel yang lebih tinggi. Lebih banyak yang tidak siap menjadi wasit level international.

Keempat, keikutsertaan di event internasional. Harus ada event olahraga yang rutin dan berjenjang.

Misalnya pada balap sepeda, ada level event yang bisa diikuti para atlet. Paling rendah C1, kemudian naik ke C2, berikutnya ke CC, selanjutnya di Asian Games, lalu naik ke World Champion dan paling di atas Olimpiade.

Sementara di Indonesia bisa dilihat sendiri, rata-rata bila tak mau dikatakan hampir semua cabang olahraga hanya fokus dan puas di level PON, yang itu level-nya masih jauh dibawah Asian Games. Inilah yang membuat atlet tidak kunjung masuk kualifikasi di Olimpiade.

Kelima, ketersedian venue. Konteks ini menjadi persoalan tersendiri, bukan saja soal alokasi anggaran.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com