Ia mencontohkan bagaimana anak-anak Indonesia bisa berbicara banyak di turnamen usia muda seperti Piala Danone atau Piala Gothia tetapi kerap tak bisa berkompetisi di level sama setelah berusia 16 tahun.
"Anak-anak di Korea Selatan, Arab Saudi, Qatar sudah mempunyuai sikap, pola latihan, dan pola pikir dewasa. Sementara di kita, sikap dan keseriusan pemain belum dewasa," tuturnya.
"Saya pikir kita melompati langkah-langkah dasar dan langsung berbicara strategi, bagaimana berlaga tetapi melupakan sikap dasar," ujarnya.
"Attitude, medical conditioning, fitness conditioning, nutrisi adalah langkah-langkah yang harus diimplementasi," lanjutnya.
Baca juga: EKSKLUSIF - Usaha Klub LaLiga untuk Menciptakan Pesepak Bola Sempurna
Ia mengutarakan kalau hal paling berharga bagi Indonesia adalah potensi dan kecintaan masyarakat terhadap sepak bola.
"Generasi Egy Maulana Vikri, Saddil Ramdani, dan Asnawi Mangkualam ini sangat bertalenta. Indonesia punya begitu banyak talenta, sayang sekali. Para pemain ini hanya perlu berada di trek benar," tuturnya.
"Lack of seriousness is a serious problem."
Namun, Jaino juga mengutarakan kalau aspek sports science di Tanah Air juga tertinggal dan belum bisa menutupi kebutuhan sepak bola modern.
"Secara sains, medis dan nutrisi kita ketinggalan. Tidak ada klub di Indonesia atau bahkan tim nasional pun yang mempunyai phyisiologist," tuturnya lagi kepada KOMPAS.com.
"Seseorang untuk memonitor, mengoleksi, dan mempelajari data GPS serta membantu tim pelatih untuk mengaplikasikannya ke para pemain. Tak ada yang punya ini," ujarnya lagi.
"Intinya, sepak bola kita punya potensi besar tetapi butuh strukturisasi ulang."
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.