KOMPAS.com - Beragam cara dilakukan klub-klub top Eropa untuk naik podium juara di Liga Champions atau yang dulu bernama Piala Champions. Ada yang berhasil, tetapi ada pula yang tidak.
Real Madrid menjadi tim yang paling berjaya semasa era Piala Champions. Mereka juara selama 5 tahun berturut-turut dari 1956 sampai 1960, kemudian menjadi kampiun lagi pada edisi 1965–1966.
Tim lainnya yang berhasil menggenggam trofi Si Kuping Besar secara beruntun adalah Benfica, Inter Milan, AC Milan, Liverpool FC, Nottingham Forest, Ajax Amsterdam, dan Bayern Muenchen.
Kompetisi semakin sulit sejak berganti nama menjadi Liga Champions pada 1992. Belum ada satu klub pun yang berhasil menjadi juara 2 kali bertuntun.
Berikut ini kiat unik yang dilakukan sejumlah pemain top ketika menjuarai kompetisi paling elite antarklub Eropa.
1. MAIN GOLF
Apa resep kesuksesan FC Barcelona untuk memenangi final 1992 kontra Sampdoria? Jawabannya adalah main golf.
Beberapa jam sebelum partai puncak di Wembley Stadium, London, para pemain Barca main gol. Hal tersebut ampuh untuk membuat skuat asuhan Johan Cruyff rileks.
Sang raksasa Catalan sukses membenamkan Sampdoria 1-0. Ronald Koeman menjadi penentu kemenangan Barcelona lewat gol tunggalnya pada menit ke-112.
"Pada pukul 9 pagi, kami bermain golf. Kami sangat santai. Tim pergi ke Wembley dengan mengetahui bahwa kami lebih baik daripada Sampdoria dan akan menang," ucap pilar lini depan Barcelona kala itu, Hristo Stoichkov.
2. PERHATIKAN LAWAN DARI BANGKU CADANGAN
Gelandang Borussia Dortmund, Lars Ricken, masuk lapangan sebagai pemain pengganti dalam final 1997 melawan Juventus. Ia baru mendapat kesempatan tampil pada menit ke-70.
Selama duduk di bangku cadangan, Ricken tak hanya menunggu giliran main. Pria kelahiran Dortmund itu juga memerhatikan gerak-gerik lawan.
Hasilnya, baru satu menit di lapangan, Ricken berhasil mencetak gol yang memastikan kemenangan 3-1 Dortmund. Ia sukses memperdaya kiper Angelo Peruzzi dengan tendangan chip dari jarak cukup jauh.
"Saya memerhatikan dari bangku cadangan dan menyadari bahwa Peruzzi berdiri terlalu jauh dari gawangnya. Saya sudah berniat untuk melakukan sepakan chip saat masuk lapangan," tutur Ricken.
3. JANGAN BICARAKAN LAWAN DAN TAK BUTUH PAPAN TULIS
Percaya atau Tidak, para pemain Real Madrid tak membutuhkan instruksi lewat papan tulis saat memenangi 5 laga final secara berturut-turut.
Tanpa peralatan pendukung, Madrid terbukti tetap perkasa. Bahkan sang legenda klub, Alfredo Di Stefano, mencetak gol dalam ke-5 partai penting tersebut.
"Kami tak pernah memiliki papan tulis dan hampir tak pernah membicarakan lawan. Sikap dari para pemain menjadi kunci kami untuk mengubah permainan," kata Paco Gento, winger Madrid periode 1953–1971.
"Pada era Di Stefano, kami hanya datang ke stadion, memakai kostum, dan bermain," ucap Gento lagi.
4. TERTAWALAH
Setiap pelatih punya cara berbeda untuk meredakan ketegangan anak-anak asuhnya menjelang partai penting. Kalau mantan pelatih AC Milan, Nereo Rocco, memilih jalur humor.
Sebelum untuk melakoni duel puncak versus Benfica pada 1963 di Stadion Wembley, Nereo melepaskan candaan yang membuat pasukannya tertawa dan rileks.
"Rocco melihat ketakutan di wajah pemain. Dia berdiri dan berkata, 'Siapa pun yang ketakutan tidak perlu ikut masuk stadion'. Setelah itu, dia berpura-pura seperti orang ketakutan," kata Cesare Maldini, kapten Milan saat itu.
"Kami semua tertawa dan ketegangan menguap. Tidak ada sosok yang bisa menciptakan suasana positif seperti dia," ucap ayah dari Paolo Maldini itu lagi.
Milan akhirnya membungkam Benfica 2-1. Sempat tertinggal lebih dulu oleh gol Eusebio pada menit ke-19, sang wakil Italia membalikkan keadaan lewat sepasang gol Jose Altafini (58' dan 69').
5. BERNYANYI
Bernyanyi ampuh untuk menghilangkan ketegangan. Setidaknya, itulah resep kesuksesan Liverpool FC ketika memenangi final 1984 di markas AS Roma, Stadion Olimpico.
Skuat asuhan Joe Fagan menyanyikan lagu I Don’t Know What It Is But I Love It milik musisi Inggris, Chris Rea. Mereka bahkan mendendangkan lagu tersebut keras-keras sambil melewati kamar ganti Roma.
"Kami berjalan melewati kamar ganti Roma dan bernyanyi begitu keras. Dalam konferensi pers, pelatih mereka (Nils Liedholm) berkata, 'Saya heran kenapa mereka bisa begitu santai'," tutur bek The Reds, Mark Lawrenson.
Duel memang berlangsung sengit. Kedua tim bermain sama kuat 1-1 selama 120 menit.
Pada babak adu penalti, nasib Liverpool lebih mujur. Empat dari lima eksekutor mereka berhasil menceploskan bola, sedangkan dua algojo Roma gagal.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.