Pada Kamis, gedung pengadilan tipikor seperti pasar tumpah yang disesaki pengunjung. Di tengah kapasitas ruangan yang tak memadai, fasilitas yang disediakan pun sangat memprihatinkan. Terutama saat renovasi berlangsung dan tak mengenal prioritas dalam memperhatikan fasilitas dasar gedung publik. Berbulan-bulan renovasi gedung dilakukan, fungsi toilet tak pernah diperhatikan untuk disegerakan diselesaikan. Padahal, jika mau, hanya dalam sehari pun mereka bisa menyulap toilet jorok jadi toilet yang layak. Hanya untuk memastikan fungsi toilet darurat bekerja minimal saja, para pekerja sama sekali tak melakukannya.
Berbulan-bulan tak ada teguran juga bagi pekerja untuk mengingatkan soal fungsi dasar itu. Padahal, lembaga Ombudsman yang biasa dilapori untuk masalah layanan publik ada di satu gedung dengan gedung pengadilan tipikor.
Dampaknya bisa dibayangkan, salah satu bencana terbesar jika berada di gedung pengadilan tipikor adalah jika seorang perempuan ingin buang air kecil, apalagi buang air besar. ”Bisa sih buang air besar di lantai 1 atau lobi, tetapi harus ada yang jagain pintu karena pintunya tidak bisa ditutup,” kata seorang pengunjung.
Beberapa pengunjung yang sudah hafal fasilitas gedung harus lari terbirit-birit ke kantor lain untuk ke toilet. Kondisi darurat seperti itu seolah dianggap biasa dan mungkin sudah dianggap sebagai bagian dari budaya Indonesia.
Layar televisi di lobi yang digunakan untuk menampilkan siaran lokal persidangan yang biasa disediakan untuk wartawan pun mati di saat sedang ramai kegiatan persidangan. ”Tetapi, para wartawan tetap setia bergerombol mengelilingi televisi yang mati itu karena lumayan masih ada suaranya,” kata seorang wartawan.
Di gedung pengadilan tipikor, sepertinya fasilitas standar terkait hal-hal nonpersidangan hampir nihil, apalagi saat renovasi seperti akhir-akhir ini. Seperti tak ada orang yang mengelola kantor itu. Tak ada orang yang bisa dilapori tentang berbagai hal terkait layanan umum di sebuah kantor.
Contoh sederhana, hingga kini tak ada jadwal sidang yang bisa dilihat pengunjung sehingga semua pengunjung termasuk para terdakwa dan penasihat hukumnya, juga wartawan, harus bertanya untuk memastikan ruangan dan jam sidang. Ketidakpastian dalam pengelolaan layanan adalah tema besar Pengadilan Tipikor Jakarta hingga akhir 2012 ini.
Jumlah ruangan sidang yang hanya dua, jumlah hakim terbatas, tetapi ada lonjakan jumlah terdakwa kasus korupsi, membuat Pengadilan Tipikor Jakarta porak-poranda dalam arti yang sebenar-benarnya. Jika mau, dan tampaknya sudah terjadi, sangat mudah bagi pihak-pihak tertentu yang berkepentingan untuk melakukan lobi di tipikor karena belum jadinya ruangan khusus bagi terdakwa, saksi, dan jaksa.
Kepada wartawan, juru bicara Pengadilan Tipikor Jakarta yang juga ketua majelis hakim di sejumlah persidangan, Sujatmiko, mengatakan, minimnya jumlah personel hakim dan panitera pengganti juga jadi masalah, apalagi jika nanti empat ruangan sidang siap digunakan.
Hakim karier hanya tujuh orang, hakim ad hoc juga hanya tujuh orang. Diperlukan tambahan 5 hakim karier, 5 hakim ad hoc, dan 5 panitera untuk menjalankan persidangan dengan nyaman.