KIEV, KOMPAS.com - Dua aristokrat sepak bola akan bertarung memperebutkan mahkota Piala Eropa di Kiev, Ukraina, Minggu (1/7) malam. Spanyol, sang penyandang gelar juara bertahan, akan berjuang keras mempertahankan kedigdayaannya, sementara Italia mencoba mengakhiri kekuasaan itu.
Final itu akan menjadi pertarungan para maestro lapangan tengah yang lihai mengendalikan permainan dan melayangkan umpan-umpan jitu. Spanyol memiliki jagoan pengumpan, seperti Xavi Hernandez, Andres Iniesta, dan Xabi Alonso yang selalu mengancam pertahanan lawan. Adapun Italia tidak kalah hebat, mempunyai Andrea Pirlo, sang konduktor yang mampu mengatur ritme permainan, serta didukung gelandang efektif, seperti Daniele De Rossi, Claudio Marchisio, dan Riccardo Montolivo.
Menariknya, pertemuan dua tim juga akan mengadu dua taktik dengan perbedaan yang sangat kontras. Spanyol akan bermain tanpa penyerang tulen, sementara Italia akan menurunkan penyerang klasik berkemampuan tinggi yang sedang berapi-api, Mario Balotelli, yang dibantu oleh ”si nakal” Antonio Cassano.
Siapakah yang Bakal Juara?
”Pemenangnya adalah tim yang memang layak juara. Saya pikir, kami (Spanyol dan Italia) adalah dua tim paling konsisten di turnamen ini,” ujar gelandang Spanyol, Cesc Fabregas, dalam konferensi pers di Stadion Dynamo Kiev, Ukraina, yang juga dihadiri oleh wartawan Kompas, Agung Setyahadi dan Mh Samsul Hadi, Jumat (29/6).
Pada kesempatan sama, pemain bertahan Spanyol, Sergio Ramos, menambahkan, mereka sudah mengetahui pola permainan dan perubahan strategi yang dilakukan Italia, saat melawan Jerman. Pengalaman bertemu di babak penyisihan Grup C di Gdansk, dengan hasil imbang 1-1, sangat membantu Spanyol untuk mengetahui yang bakal dilakukan di lapangan.
”Italia memiliki gaya permainan yang sangat berani, mengandalkan kecepatan dan serangan balik. Tidak masalah, mereka mau menerapkan strategi yang mana. Yang pasti kami akan melakukan penyesuaian saat bertemu. Apa pun gaya permainan mereka, kami akan mengimbanginya. Kita lihat saja Minggu nanti,” ujar Ramos.
Pelatih Spanyol Vicente Del Bosque kemungkinan besar akan memasang enam gelandang tanpa penyerang murni. Mereka akan sebanyak mungkin menguasai bola dengan umpan-umpan pendek dan cepat, sesuai ciri khas yang dikenal dengan istilah tiki-taka. Spanyol akan mempertahankan permainan dalam tempo cepat dan tidak ingin mengikuti gaya permainan Italia.
”Kami akan berupaya mematikan gaya permainan mereka dan mengantisipasi pemain, seperti Pirlo yang akan menjadi ancaman utama dalam serangan,” timpal Fabregas, pemain kelahiran Arenys de Mar, Barcelona, 4 Mei 1987.
Sebaliknya, Italia pun, sudah mengetahui persis cara meredam pola serangan Spanyol. Portugal telah mengajarkan Italia, bagaimana memberi tekanan ketat terhadap pemain Spanyol dapat membuat pola serangan dari kaki ke kaki itu menjadi mandul. Pelatih Italia Cesare Prandelli telah membuktikan hal yang sama saat mengalahkan Jerman 2-1 pada partai semifinal sebelumnya.
Prandelli akan mencoba mengulang kesuksesan Italia, mencetak gol cepat seperti saat melawan Jerman. Italia akan memancing Spanyol menyerang dan membunuhnya dengan serangan balik yang sangat cepat dengan dua-tiga sentuhan bola. Skenario gol cepat ini merupakan kunci yang akan menciptakan kondisi ideal gaya permainan Italia, yaitu membuka lini belakang lawan.
Jika tertinggal lebih dulu, Spanyol akan lebih agresif menekan. Akibatnya, lini belakang ”La Furio Roja” akan semakin mudah ditembus oleh serangan balik Italia yang sangat efektif.
Italia tidak akan bermain bertahan melawan Spanyol. Skuad ”Azzurri” tetap akan bermain dalam filosofi yang dibangun oleh Prandelli dalam dua tahun terakhir. Mereka semakin percaya diri dengan penguasaan bola yang terbuka dan agresif menekan. Tiki-taka Spanyol yang hampir sempurna tidak membuat ”Tim Langit Biru” gentar.
”Kami tidak gentar kepada mereka. Mereka tidak lebih kuat dari kami sewaktu pertemuan di Gdansk. Kami telah berkembang, baik secara fisik maupun psikis,” kata Prandelli.
Apa pun hasil pertandingan final nanti, kedua tim akan mencetak sejarah. Buat Spanyol, menjadi juara di Kiev akan mencatatkan tinta emas sebagai tim yang mampu meraih tiga gelar paling bergengsi sejagat (Piala Eropa 2008, Piala Dunia 2010, dan Piala Eropa 2012), menyamai rekor Jerman Barat pada era awal 1970-an. Italia pun sangat merindukan mahkota juara itu. Generasi muda Italia belum pernah merasakannya karena Azzurri, meraihnya 44 tahun lalu. (REUTERS)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.