Namun, betapapun, Balotelli juga anak manusia biasa. Setelah segala selebrasi martial, kelelakian, dan kegagahannya, ia memberikan diri untuk dipeluk ibu angkatnya. Adegan ini tak kalah mengharukan dengan pemandangan di tribune, di mana gadis-gadis Jerman menyeka airmata mereka yang bercucuran.
Italia seakan sudah sampai ”di depan pintu surga”. Manusia semimalaikat yang mengantar ke sana bukan hanya Balotelli, melainkan juga Andrea Pirlo. Gazetta dello Sport pernah memuji, ”Pirlo seorang diri lebih daripada separuh kesebelasan Italia.” Harian yang sama terus menyanjungnya, ”Pirlo adalah orang yang terberkati. Ia seperti Mozart yang mencipta komposisi ’Requiem’ untuk Jerman.” Memang Pirlo-lah komponis Italia yang menjadi dirigen bagi ritual sepak bola ”pemakaman” kesebelasan Jerman.
Bersama Pirlo dan Balotelli, Italia menantang Spanyol di final. Kini, Spanyol tidak berada dalam kondisi ideal. Tika-taka mereka kurang menggigit seperti dulu. Akan tetapi, Spanyol mempunyai sesuatu yang tidak dipunyai kesebelasan mana pun, yakni roh kebersamaan. Dalam dekade terakhir ini, roh kebersamaan itu kian menguat dan makin menyatukan pemain dengan latar belakang daerah yang berbeda-beda: Katalan, Bask, Madrid, dan Andalusia.
Pemain-pemain Spanyol mempunyai emosi dan rasa bola yang luar biasa. ”Bola sarat dengan rasa. Dengan rasa, kami bisa bermain dengan baik. Rasa itu yang membentuk roh kebersamaan dan perjuangan. Saya selalu berusaha memanfaatkan rasa yang ada pada mereka,” kata Vicente del Bosque.
Rasa itu terpendam dan tak terlihat lawan. Namun, jika datang waktunya, rasa itulah yang akan menyulut api kesebelasan Spanyol dan menjadikan mereka ”La Furia Roja”, amukan yang merah menyala. Hal terakhir inilah yang bakal sulit diperhitungkan Italia. Bisa-bisa ”amukan api” itu akan membasmi harapan Italia yang sedang membubung tinggi di langit biru.