Kekalahan itu membuat suasana menjadi sunyi. Di kabin, pemain-pemain Jerman tenggelam dalam kebisuan yang mencekam. Lalu, kesunyian itu pun menyeret mereka ke dalam ketiadaan, yang hanya bisa disesali dan diratapi.
”Suasana sungguh sunyi, tak seorang pun berani membuka pembicaraan. Kami sungguh luluh lantak,” kata Andre Schuerrle. ”Rasanya sungguh hancur lebur,” kata Lukas Podolski. ”Dua tahun bersusah payah hanya seperti terbang dalam kekosongan belaka,” kata Toni Kroos.
Rasanya tak pernah kesebelasan Jerman mengalami kepedihan seperti ini. Kepedihan yang dirasa lewat kekalahan 1-2 dari Italia di semifinal Piala Eropa. Mereka hebat, kuat, dan terpandang. Namun, sekarang mereka lumpuh, tak berdaya, dan ternista. Tak pernah dalam sejarah bola Jerman, kehebatan dan kemenangan begitu berimpitan dengan kehancuran dan kekalahan seperti sekarang. ”Kemenangan sudah di hadapan mata, tapi pada saat itulah kami terbanting menjadi bukan siapa-siapa,” kata Mario Gomez.
Siapakah yang salah? Joachim Loew karena taktiknya yang tak jitu? Philipp Lahm yang kehilangan kompas? Lapangan yang licin dan membuat mereka sering tergelincir? Rasa percaya diri yang berlebihan? Tak ada yang tahu apa atau siapa yang salah.
Satu-satunya yang mereka tahu, Mario Balotelli-lah yang membuat mereka malu. Setelah menyarangkan gol kedua ke gawang Manuel Neuer, Balotelli mencopot kausnya, tegak
Balotelli mengencangkan ototnya. Usia 21 tahun, tinggi 1,89 meter, dan berat 88 kilogram. Ia seperti petinju yang baru memukul KO lawannya. Seluruh Italia mengelu-elukannya bagaikan raja. Bad boy itu telah menjadi hero bagi bangsa. Ia adalah simbol Italia baru. Kebanggaan Italia sekarang nyaris identik dengan dia. Maka, Balotelli telah menjadi Balotellia! Dengan dada telanjang dan ototnya yang kencang, Balotelli juga seakan menantang, ”Mau apa lagi kalian?” Selama ini, Balotelli jengkel karena ialah satu-satunya pemain yang terus disorot bukan karena prestasi sportnya, melainkan karena perilakunya di luar bola.
Orang mempunyai sederet daftar keliarannya di luar bola: pelanggaran tertib lalu lintas, bersenang-senang dengan beberapa pelacur sekaligus, kelancangannya waktu masuk ke penjara wanita, dan sebagainya. Akan tetapi, tak sedikit pun dicatat kehebatannya bermain bola. Sekarang orang harus mengakui, kelirulah jika orang menganggap Balotelli hanyalah pembuat onar belaka.
Balotelli tak bisa mengerti mengapa orang selalu menghina dia karena ras hitamnya. Maka, menjelang Piala Eropa, dia sesumbar akan membunuh orang yang melemparinya dengan pisang. Ternyata bukan pisau atau pistol, melainkan dengan golnya yang dahsyat dia benar-benar telah ”membunuh” orang yang menghinanya.
Balotelli sulit tidak hanya dengan orang lain, tapi juga dengan dirinya sendiri. Ia bergulat untuk mengetahui siapa dirinya. Gol dahsyat itu sejenak membebaskan dia dari pergulatan. ”Saya seorang genius. Tuhan telah memberi saya bakat yang indah, luar biasa, dan ilahiah,” katanya. Itu pula kiranya yang ingin dinyatakannya ketika dia dengan gagah menunjukkan otot-otot kelelakiannya.
Namun, betapapun, Balotelli juga anak manusia biasa. Setelah segala selebrasi martial, kelelakian, dan kegagahannya, ia memberikan diri untuk dipeluk ibu angkatnya. Adegan ini tak kalah mengharukan dengan pemandangan di tribune, di mana gadis-gadis Jerman menyeka airmata mereka yang bercucuran.
Italia seakan sudah sampai ”di depan pintu surga”. Manusia semimalaikat yang mengantar ke sana bukan hanya Balotelli, melainkan juga Andrea Pirlo. Gazetta dello Sport pernah memuji, ”Pirlo seorang diri lebih daripada separuh kesebelasan Italia.” Harian yang sama terus menyanjungnya, ”Pirlo adalah orang yang terberkati. Ia seperti Mozart yang mencipta komposisi ’Requiem’ untuk Jerman.” Memang Pirlo-lah komponis Italia yang menjadi dirigen bagi ritual sepak bola ”pemakaman” kesebelasan Jerman.
Bersama Pirlo dan Balotelli, Italia menantang Spanyol di final. Kini, Spanyol tidak berada dalam kondisi ideal. Tika-taka mereka kurang menggigit seperti dulu. Akan tetapi, Spanyol mempunyai sesuatu yang tidak dipunyai kesebelasan mana pun, yakni roh kebersamaan. Dalam dekade terakhir ini, roh kebersamaan itu kian menguat dan makin menyatukan pemain dengan latar belakang daerah yang berbeda-beda: Katalan, Bask, Madrid, dan Andalusia.
Pemain-pemain Spanyol mempunyai emosi dan rasa bola yang luar biasa. ”Bola sarat dengan rasa. Dengan rasa, kami bisa bermain dengan baik. Rasa itu yang membentuk roh kebersamaan dan perjuangan. Saya selalu berusaha memanfaatkan rasa yang ada pada mereka,” kata Vicente del Bosque.
Rasa itu terpendam dan tak terlihat lawan. Namun, jika datang waktunya, rasa itulah yang akan menyulut api kesebelasan Spanyol dan menjadikan mereka ”La Furia Roja”, amukan yang merah menyala. Hal terakhir inilah yang bakal sulit diperhitungkan Italia. Bisa-bisa ”amukan api” itu akan membasmi harapan Italia yang sedang membubung tinggi di langit biru.