Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rasa Bola "La Furia Roja"

Kompas.com - 01/07/2012, 01:45 WIB

Sindhunata

Kekalahan itu membuat suasana menjadi sunyi. Di kabin, pemain-pemain Jerman tenggelam dalam kebisuan yang mencekam. Lalu, kesunyian itu pun menyeret mereka ke dalam ketiadaan, yang hanya bisa disesali dan diratapi.

”Suasana sungguh sunyi, tak seorang pun berani membuka pembicaraan. Kami sungguh luluh lantak,” kata Andre Schuerrle. ”Rasanya sungguh hancur lebur,” kata Lukas Podolski. ”Dua tahun bersusah payah hanya seperti terbang dalam kekosongan belaka,” kata Toni Kroos.

Rasanya tak pernah kesebelasan Jerman mengalami kepedihan seperti ini. Kepedihan yang dirasa lewat kekalahan 1-2 dari Italia di semifinal Piala Eropa. Mereka hebat, kuat, dan terpandang. Namun, sekarang mereka lumpuh, tak berdaya, dan ternista. Tak pernah dalam sejarah bola Jerman, kehebatan dan kemenangan begitu berimpitan dengan kehancuran dan kekalahan seperti sekarang. ”Kemenangan sudah di hadapan mata, tapi pada saat itulah kami terbanting menjadi bukan siapa-siapa,” kata Mario Gomez.

Siapakah yang salah? Joachim Loew karena taktiknya yang tak jitu? Philipp Lahm yang kehilangan kompas? Lapangan yang licin dan membuat mereka sering tergelincir? Rasa percaya diri yang berlebihan? Tak ada yang tahu apa atau siapa yang salah.

Satu-satunya yang mereka tahu, Mario Balotelli-lah yang membuat mereka malu. Setelah menyarangkan gol kedua ke gawang Manuel Neuer, Balotelli mencopot kausnya, tegak mematung seperti binaragawan yang memperlihatkan kegagahan otot-ototnya. Ia seakan hendak bilang, ”Akulah yang membuktikan: sebelum ini Jerman boleh mentang-mentang muncul sebagai favorit, tapi jika saatnya kebenaran tiba, mereka mau tak mau harus bertekuk lutut di hadapan Italia. Ya, akulah yang akhirnya membuktikan, Italia-lah hantu yang bisa membenamkan Jerman ke jurang yang dalam, justru ketika mereka sedang terbang di awang-awang.”

Balotelli mengencangkan ototnya. Usia 21 tahun, tinggi 1,89 meter, dan berat 88 kilogram. Ia seperti petinju yang baru memukul KO lawannya. Seluruh Italia mengelu-elukannya bagaikan raja. Bad boy itu telah menjadi hero bagi bangsa. Ia adalah simbol Italia baru. Kebanggaan Italia sekarang nyaris identik dengan dia. Maka, Balotelli telah menjadi Balotellia! Dengan dada telanjang dan ototnya yang kencang, Balotelli juga seakan menantang, ”Mau apa lagi kalian?” Selama ini, Balotelli jengkel karena ialah satu-satunya pemain yang terus disorot bukan karena prestasi sportnya, melainkan karena perilakunya di luar bola.

Orang mempunyai sederet daftar keliarannya di luar bola: pelanggaran tertib lalu lintas, bersenang-senang dengan beberapa pelacur sekaligus, kelancangannya waktu masuk ke penjara wanita, dan sebagainya. Akan tetapi, tak sedikit pun dicatat kehebatannya bermain bola. Sekarang orang harus mengakui, kelirulah jika orang menganggap Balotelli hanyalah pembuat onar belaka.

Balotelli tak bisa mengerti mengapa orang selalu menghina dia karena ras hitamnya. Maka, menjelang Piala Eropa, dia sesumbar akan membunuh orang yang melemparinya dengan pisang. Ternyata bukan pisau atau pistol, melainkan dengan golnya yang dahsyat dia benar-benar telah ”membunuh” orang yang menghinanya.

Balotelli sulit tidak hanya dengan orang lain, tapi juga dengan dirinya sendiri. Ia bergulat untuk mengetahui siapa dirinya. Gol dahsyat itu sejenak membebaskan dia dari pergulatan. ”Saya seorang genius. Tuhan telah memberi saya bakat yang indah, luar biasa, dan ilahiah,” katanya. Itu pula kiranya yang ingin dinyatakannya ketika dia dengan gagah menunjukkan otot-otot kelelakiannya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com