Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Musamus, Merauke, Basilius Redan menjelaskan, lemahnya pengawasan terhadap guru yang mangkir oleh pemerintah daerah menyebabkan banyak guru lebih sering menetap di kota. Kondisi ini menyebabkan terjadinya kelangkaan guru di Papua.
Soal kualitas guru, tercatat hanya 7,22 persen guru SD di Papua yang memiliki minimum kualifikasi S-1 jika dibanding 18 persen di tingkat nasional. Distribusi guru juga tidak merata antara daerah perkotaan dan pinggiran (khususnya di daerah terpencil dan terisolasi). Sebanyak 4.496 ruang kelas SD dari 12.963 ruang kelas SD di Papua tahun 2008 dalam kondisi rusak berat. Bahan ajar dan bahan belajar juga belum sesuai dengan konteks Papua.
Persoalan lain yang lebih mendasar adalah masih rendahnya kesadaran masyarakat
Pastor Hengki Kariwop MSC, Ketua YPPK Keuskupan Merauke mengungkapkan karut marutnya pendidikan di Papua juga tidak terlepas dari manajemen pelayanan pendidikan yang berjalan tidak efisien dan tidak efektif. Sistem pengelolaan persekolahan negeri dan swasta di daerah pedalaman, pesisir pantai, dan daerah terpencil kurang mendapat dukungan. Hal ini terjadi terutama dalam soal tenaga guru, sarana prasarana, media dan buku pelajaran, serta administrasi sekolah.
Tampaknya jalan pintas keluar dari kubangan kemiskinan dan ketertinggalan warga Papua masih jauh. Potensi mencetak generasi Papua yang unggul membutuhkan penanganan ekstra. Jika tidak ada penanganan serius, cap wilayah paling tertinggal bakal terus melekat. (ANTONIUS PURWANTO dan BUDIAWAN SIDIK S/Litbang Kompas)