Oleh Suhartono
KOMPAS.com - Hari pertama Rully (14) mengikuti Sekolah Sepak Bola (SSB) Pelita Jaya Football Academy di Kampung Petir, Kecamatan Sawangan, Kota Depok, Jawa Barat, Senin (18/6), boleh dibilang menyenangkan.
Siswa kelas 1 pondok pesantren di Kecamatan Rawamarta, Karawang, Jawa Barat, itu, bisa langsung beradaptasi. ”Saya senang bisa ikut main, dan ingin ikut kompetisi,” kata Rully, yang doyan bola sejak usia lima tahun.
Ayahnya, Eddy Sunarya (42), yang mengantar naik sepeda motor dari Desa Tajur, Kecamatan Parung, Bogor, juga punya harapan sama. ”Semoga cita-citanya tercapai. Rully ingin seperti Bambang Pamungkas. Dia ingin membelikan saya mobil, dan rumah buat saudaranya,” tutur Eddy.
Harapan senada dilontarkan Ardi (34), karyawan swasta di Jakarta. Ia melepas anak tunggalnya, Arnadi Putera (14) ikut International Soccer Madrid, Spanyol, selama 3,5 minggu, awal April lalu.
”Saya ingin jadi CR (panggilan Cristiano Ronaldo, pemain Portugal),” kata Arnadi kepada Kompas, Selasa (19/6). Dalam waktu dekat, Arnadi segera berangkat ke Barcelona, Spanyol, ikut program yang sama selama sebulan.
Tak cuma modal bakat
Menurut Ketua Asosiasi SSB Indonesia Taufik Jusral Effendi, cita-cita Rully, Arnadi, dan siswa SSB lainnya bisa tercapai. Akan tetapi, keberhasilannya tak cuma ditentukan oleh bakat semata, melainkan juga pembinaan dan kompetisi berkelanjutan.
Selain itu, tambah itu, pemain usia muda 12-14 tahun harus ikut kompetisi minimal 300 jam atau 36 minggu dalam setahun dengan durasi dua kali 30 menit. ”Itu ditambah latihan seminggu tiga kali, dengan waktu 90 menit,” tambah Taufik, anggota Komite Liga Kompas Gramedia (LKG).
Dengan kompetisi, SSB bisa mengevaluasi manajemen dan siswa didiknya. ”Ibaratnya, kompetisi jadi work- shop bagi SSB atau klub,” kata Taufik.