Mancini selalu melepaskan emosinya seketika ia merasakan kegelisahan, karakter yang sudah mendarah daging sejak dirinya menjadi pemain sepak bola. Saat memperkuat Lazio, Mancini pernah membuang pita kapten dan mendamprat pelatihnya waktu itu, Sven-Goran Eriksson.
Emosi yang meledak-ledak itu tipikal Mancini. Ia secara spontan menyatakan tidak akan pernah memainkan Carlos Tevez, yang menolak melakukan pemanasan dalam sebuah pertandingan Liga Champions.
Di laga terakhir Liga Primer musim ini, Mancini menumpahkan seluruh emosinya untuk mendorong pasukannya melampaui batas kemampuan mereka. Skuad inti City terus berusaha mencetak gol di bawah suntikan motivasi Mancini dari tepi lapangan.
Mukjizat itu terjadi pada babak tambahan waktu. Sekali lagi, Mancini berada dalam dekapan Dewi Fortuna. Sundulan Edin Dzeko menyamakan kedudukan 2-2 dan dua menit kemudian Sergio Aguero, yang dibeli senilai 35 juta pounds (Rp 521 miliar) dari Atletico Madrid, membawa City unggul 3-2. Gol yang membawa City juara Liga Inggris dengan keunggulan selisih gol dari rival sekotanya, Manchester United.
Mancini meluapkan kegembiraannya dengan berlari sambil mengangkat tangannya ke udara. Ia melepaskan ketegangan yang menekannya sejak babak kedua. Musim ini menjadi pencapaian menakjubkan Mancini sebagai pelatih di Liga Inggris. Ia mencatatkan kemenangan bersejarah.
Mancini sukses memimpin revolusi Manchester City. Ia belajar banyak dari gurunya, Sven-Goran Eriksson yang mengajarinya bagaimana berhenti sejenak dan berpikir. Di saat kebuntuan menghinggapi penampilan tim, seorang pelatih harus berhenti sejenak, mengurai benang kusut dalam timnya dengan pikiran jernih.
Pelatih yang telah menginjak usia 48 tahun ini semakin matang dalam meracik strategi dan mengelola emosi pemainnya di ruang ganti. Ia memenangi pertarungan di ruang ganti saat Tevez memberontak.
Kekuatan karakter Mancini ini tidak lepas dari pengalamannya sebagai pemain dengan pencapaian yang mengagumkan. Ia menjadi legenda dalam sepak bola Italia. Ia penyerang hebat dengan gol-gol berkelas, kelihaian manuver, dan satu kebiasaannya yang khas, mengumpan bola dengan tumit kaki.
Ia menjadi ancaman serius bagi lawan-lawannya, meskipun sosoknya lebih mirip peselancar top dari Australia. Rambut pirang, postur ramping, dan wajah tampan juga menjadikannya dalam papan atas pesepak bola berpenampilan menarik di Italia.
Namun, penampilan luarnya yang meledak-ledak tidak sejalan dengan karakternya yang cenderung tertutup. Rekan-rekan dekatnya mendeskripsikan dirinya sebagai ”orang yang sangat tertutup”. Ia juga sering dikritik karena dinilai angkuh dan sombong.