Franklin Foer dalam bukunya How Soccer Explain The World menilai hal yang memengaruhi terbentuknya kondisi sosial komunitas penggemar sepak bola adalah sejarah. Hal itulah yang terjadi di Mesir. Rakyar Mesir menganggap sepak bola adalah pancaran dari harapan baru di tengah kemiskinan dan tekanan hidup yang didapatkan dari rezim yang berkuasa selama puluhan tahun.
Maka, wajar bila setiap pendukung sebuah klub sepak bola itu akan mati-matian membela atau mendukung tim kesayangannya. Pada 2003, pendukung klub Mesir, Ismaili, melemparkan apa pun yang ada di dekatnya ke tengah lapangan sebagai bentuk kekecewaan mereka terhadap gol yang dibuat oleh lawannya, klub asal Nigeria, Eyimba, dalam laga Liga Champions Afrika ketika itu.
Pada November 2011, Federasi Sepak Bola Mesir (EFA) sempat menjatuhkan hukuman kepada dua klub lokal, Al-Ahly dan Zamalek, untuk bermain di stadion tanpa penonton. Hukuman itu diberikan karena pendukung dua klub tersebut mengabaikan sejumlah larangan pemakaian petasan dan kembang api saat pertandingan.
Akan tetapi, larangan itu justru membuat para suporter garis keras kesal. Mereka menilai bahwa EFA telah mengekang kebebasan, seperti apa yang dilakukan Mubarak kepada Mesir selama masa pemerintahannya. Lantas, mereka pun secara terang-terangan mengecam dan memprotes tindakan EFA melalui spanduk-spanduk dan pesan yang disebarkan di sejumlah situs jejaring sosial.
Lemah pengawasan
Namun, di samping itu semua, salah satu hal yang penting juga adalah pengawasan dari pengelolaan sepak bola di Mesir sendiri. Jika kita tarik ke belakang, urusan lapangan hijau di negeri Firaun ini memang memiliki sejarah kelam dalam soal pengawasan keamanan. Otoritas sepak bola Mesir sering kali dinilai gagal menangani sejumlah insiden kekerasan sepak bola.
Lihat saja bagaimana aparat keamanan dalam stadion hanya berdiam diri ketika melihat ribuan pendukung klub lokal Zamalek berlari ke dalam lapangan sebelum akhir pertandingan Piala Champions Afrika antara Zamalek melawan klub asal Tunisia, Africain, pada April 2011 lalu.
Begitu pula dengan insiden di Port Said. Dalam video insiden itu, sangat jelas bagaimana sejumlah aparat keamanan yang berjaga dalam stadion membiarkan pendukung Al-Marsy lari ke lapangan, kemudian tidak melakukan pencegahan khusus dalam mengantisipasi bentrokan tersebut.
"Tidak ada pergerakan, tidak ada keamanan, dan tidak ada ambulans. Tragedi ini tidak akan pernah dilupakan sebagai sejarah terkelam dunia sepak bola," sesal Treika seusai pertandingan tersebut.
Dengan terjadinya kerusuhan ini, otomatis EFA kini memiliki pekerjaan berat. Sejumlah pihak menuntut agar otoritas sepak bola Mesir tersebut bisa lebih baik mengatur sepak bola di negaranya. Sanksi FIFA pun menanti jika mereka tidak segera berbenah akan hal itu.
Sepak bola adalah kebebasan, keindahan, sportivitas, dan persaudaraan. Sangat picik dan berbahaya jika permainan indah itu dijadikan ajang perang politik yang selalu memakan korban.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.