Kegagalan merebut emas cabang sepak bola SEA Games 2011, menyusul kekalahan dari Malaysia di final, Senin (21/11), meninggalkan kesedihan. Akan tetapi, itu bukanlah tragedi. Tragedi sesungguhnya adalah tewasnya dua suporter Indonesia akibat terinjak-injak massa yang berebut masuk Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta.
Dalam balutan kaus merah, warna kostum timnas Indonesia, Reno Suharto Alvino (20) dan seorang laki-laki lain tewas mengenaskan saat akan mendukung ”Tim Merah Putih” melawan Malaysia. Senin itu telah berubah dari pesta puncak sepak bola SEA Games menjadi hari berkabung.
Tragedi ini menjadi noda hitam di balik gemerlap penyelenggaraan SEA Games 2011 dan sukses Indonesia menjadi juara umum multicabang se-Asia Tenggara itu. Dengan tragedi ini, panitia penyelenggara SEA
Kekisruhan dalam penyelenggaraan laga sepak bola sudah sering terjadi di negeri ini. Kerusuhan suporter, tawuran antarpemain, kekerasan atas wasit dan ofisial laga, ketidakberesan dalam penjualan tiket laga, serta tidak memadainya kinerja penyelenggara dan aparat keamanan sudah berulang kali terjadi.
Kekisruhan dalam penyelenggaraan laga final Piala AFF 2010, yang belum ada setahun lalu, belum hilang dari ingatan. Namun, penyelenggara laga sepak bola—termasuk di SEA
Kekisruhan pada Senin itu sebenarnya telah tercium sehari sebelumnya saat suporter kesulitan membeli tiket. Publik tidak mendapat informasi yang jelas soal itu. Kemarahan mereka sudah memuncak, Minggu, dengan membakar satu loket penjualan tiket di kompleks Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta.
Pembakaran loket penjualan tiket kembali terulang, Senin, beberapa jam sebelum laga final. Saat itu, kompleks GBK menjadi lautan manusia. Ada yang menyebut, kumpulan orang kali ini jauh lebih besar daripada saat final Piala AFF 2010, saat Indonesia melawan Malaysia.
Di luar stadion, sulit dibedakan antara suporter yang memiliki tiket dan yang tidak bertiket. Sejumlah portal berita dunia maya melaporkan, saat penonton berdesak-desakan sekitar pukul 19.00, tak tampak panitia yang memberikan informasi kapan pintu dibuka.
Aparat keamanan kewalahan meredam emosi penonton. Sejumlah pintu stadion pun ambruk dijebol massa. Banyak yang menyesalkan ketidaksigapan panitia mengatasi kekisruhan itu. Ada yang melihat, beberapa panitia justru berfoto-foto ria. Melalui media sosial, beredar pula foto anggota panitia asyik bermain kartu saat itu.
Di dalam stadion, hampir di semua sektor, suporter membeludak memenuhi semua tempat duduk yang tersedia. Sementara suporter yang tidak kebagian kursi, mereka duduk berjejalan di tangga-tangga di jalan menuju pintu masuk dan keluar. Sebagian lagi berdesakan berdiri sehingga benar-benar menutupi pintu.
Di tribune khusus untuk media, kondisinya juga sama. Tempat yang semestinya dikhususkan buat wartawan sudah dipadati penonton. Aparat keamanan sendiri tak berdaya menahan suporter untuk masuk ke stadion karena jumlah mereka kalah banyak.
Kondisi ini tentu saja mengkhawatirkan. Bisa dipastikan, proses evakuasi jika terjadi sesuatu di dalam stadion akan sulit dilakukan karena semua tempat sudah dipadati penonton yang tak memungkinkan buat setiap orang untuk bergerak.
Bahkan, bus tim nasional Indonesia tak bisa masuk ke stadion karena ribuan suporter memadati areal pintu merah. Pemain timnas Indonesia pun harus berjalan kaki dari depan pintu parkir. Mereka harus
”Diego (Michiels) sempat dipukul oleh suporter saat berdesakan mencari jalan masuk ke stadion. Suporter itu mungkin tidak mengira para pemain jalan kaki, jadi mungkin tidak tahu kalau itu pemain tim nasional,” ujar pelatih tim nasional, Rahmad Darmawan.
Meski berbeda eskalasi dan jumlah korban, kasus tewasnya dua suporter terinjak-injak massa itu mengingatkan pada tragedi Hillsborough, 15 April 1989, saat berlangsung semifinal Piala FA, Liverpool versus Nottingham Forest. Sebanyak 96 orang tewas dan 766 lain terluka.
Benang merah antara tragedi Hillsborough sekitar 21 tahun silam dan malam kelabu di Gelora Bung Karno, Senin itu, adalah buruknya penyelenggaraan laga sepak bola. Sejak tragedi Hillsborough itu, Inggris merevolusi pengelolaan laga sepak bola sehingga mereka kini jadi kiblat sepak bola.
Kita belum tahu, apakah pengelola sepak bola negeri ini akan belajar dari kejadian Senin kelabu itu. Yang pasti, kita sudah merasakan, hantu tragedi Hillsborough itu telah sampai di Senayan.