Di dalam stadion, hampir di semua sektor, suporter membeludak memenuhi semua tempat duduk yang tersedia. Sementara suporter yang tidak kebagian kursi, mereka duduk berjejalan di tangga-tangga di jalan menuju pintu masuk dan keluar. Sebagian lagi berdesakan berdiri sehingga benar-benar menutupi pintu.
Di tribune khusus untuk media, kondisinya juga sama. Tempat yang semestinya dikhususkan buat wartawan sudah dipadati penonton. Aparat keamanan sendiri tak berdaya menahan suporter untuk masuk ke stadion karena jumlah mereka kalah banyak.
Kondisi ini tentu saja mengkhawatirkan. Bisa dipastikan, proses evakuasi jika terjadi sesuatu di dalam stadion akan sulit dilakukan karena semua tempat sudah dipadati penonton yang tak memungkinkan buat setiap orang untuk bergerak.
Bahkan, bus tim nasional Indonesia tak bisa masuk ke stadion karena ribuan suporter memadati areal pintu merah. Pemain timnas Indonesia pun harus berjalan kaki dari depan pintu parkir. Mereka harus
”Diego (Michiels) sempat dipukul oleh suporter saat berdesakan mencari jalan masuk ke stadion. Suporter itu mungkin tidak mengira para pemain jalan kaki, jadi mungkin tidak tahu kalau itu pemain tim nasional,” ujar pelatih tim nasional, Rahmad Darmawan.
Meski berbeda eskalasi dan jumlah korban, kasus tewasnya dua suporter terinjak-injak massa itu mengingatkan pada tragedi Hillsborough, 15 April 1989, saat berlangsung semifinal Piala FA, Liverpool versus Nottingham Forest. Sebanyak 96 orang tewas dan 766 lain terluka.
Benang merah antara tragedi Hillsborough sekitar 21 tahun silam dan malam kelabu di Gelora Bung Karno, Senin itu, adalah buruknya penyelenggaraan laga sepak bola. Sejak tragedi Hillsborough itu, Inggris merevolusi pengelolaan laga sepak bola sehingga mereka kini jadi kiblat sepak bola.
Kita belum tahu, apakah pengelola sepak bola negeri ini akan belajar dari kejadian Senin kelabu itu. Yang pasti, kita sudah merasakan, hantu tragedi Hillsborough itu telah sampai di Senayan.