Menurut Sigit, pelanggan warung nasi kucing itu, di luar harga yang murah, warung nasi kucing memang lazim digunakan untuk clubbing para konsumen "kerak" alias kelas rakyat. Pengelola warung nasi kucing akan maklum bila konsumennya berjam-jama nongkrong meski tagihannya tak sampai Rp10.000.
Oleh karena itu, warung nasi kucing juga merupakan tempat favorit kalangan mahasiswa berkantong pas-pasan untuk clubbing bersama rekan-rekannya. Duit untuk menebus secangkir kopi di kafe bisa digunakan clubbing di warung nasi kucing lima kali.
Warung ini juga favorit bagi banyak karyawan mal dan pusat perbelanjaan modern yang hanya bergaji setara upah minimum kabupaten/kota (UMK). Meskipun berpenampilan modis dan wangi, banyak pramuniaga di Java Mall Semarang santap siang di warung-warung kecil di lorong bangunan itu.
"Gaji kami tidak bakalan cukup kalau setiap siang makan di fried chicken," kata Setiawati (26), pramuniaga di salah satu gerai di Java Mall. Yang dimaksud Setiawati tentu restoran cepat saji waralaba yang ada di pusat perbelanjaan itu.
Ia menceritakan, gajinya yang tidak sampai Rp 1 juta per bulan harus dikelola dengan cermat agar tidak sampai berutang. "Hanya sesekali makan di rumah makan padang, selebihnya makan di warung PKL atau nasi kucing," katanya.
Tak terpisahkan
Keberadaan warung nasi kucing–di tempat lain biasa disebut angkringan–tampaknya akan menjadi bagian tak terpisahkan dari wajah perkotaan di Indonesia, yang tidak bisa hanya menampakkan sisi modernitas dan kemakmuran sebagian warganya.
Keberadaannya melengkapi warung-warung kecil kelas PKL yang sudah puluhan tahun eksis bersamaan dengan semakin moleknya wajah-wajah kota di Tanah Air.
Makanan dan minuman yang disajikan beberapa ada kesamaan dengan kafe. Kopi tubruk masih tetap dijajakan, tetapi kalau ingin ngopi rasa kafe, tidak terlalu sulit mendapatkannya. Tinggal sebut merek dan jenisnya. Mau yang capuccino atau coco granule bisa sebab tinggal menyobek bungkus kopi instan lalu diguyur air panas.
Wajah kontras perkotaan seperti ini merupakan kelanjutan dari potret dualisme ekonomi Indonesia pada masa lalu, seperti digambarkan ekonom Boeke.