CAPE TOWN, KOMPAS.com - Kisah keberuntungan Diego Maradona berakhir di tangan Jerman. Tuhan tak lagi berkenan menyelamatkannya di Piala Dunia 2010.
Dikenal dengan julukan "Si Tangan Tuhan", Maradona begitu menggantungkan langkah tim Argentina dalam kuasa-Nya. Perjalanannya sebagai pelatih "Albiceleste" diwarnai begitu banyak batu penghalang. Kalah telak dari Paraguay, hampir gagal di babak kualifikasi, Maradona dan Argentina toh bisa lolos ke putaran final tanpa harus melewati babak play-off.
Sebelum berangkat ke Afrika Selatan, Maradona menerima banyak kritik dari kiri-kanan, dari dalam maupun dari luar negaranya. Salah satu yang paling mencolok adalah strateginya dalam meracik pemain. Sejak menangani tim "Biru Langit", mantan juara dunia 1986 itu sudah memanggil lebih dari 100 pemain untuk tim asuhannya. Uniknya, Maradona justru tak memanggil bek veteran Javier Zanetti dan gelandang Esteban Cambiasso. Padahal, keduanya sedang dalam kondisi puncak setelah memberikan tiga gelar untuk Inter Milan. Dua pemain Inter, yakni Walter Samuel dan Diego Milito, masih diberi kesempatan membela timnas, tapi keduanya jarang mendapat posisi starting eleven.
Banyak pengamat mengatakan Maradona beruntung memiliki pemain-pemain kelas dunia, seperti Lionel Messi, Carlos Tevez, dan Gonzalo Higuain. Mereka semua memang bermain cemerlang di penyisihan grup. Messi yang tak mencetak gol sama sekali tetap bermain baik dan bahkan menjadi man of the match dalam laga versus Yunani. Namun, kisah emas para pemain dengan teknik individual mumpuni itu akhirnya kandas juga di tangan Jerman.
Sebelum duel versus Jerman di perempat final, perang urat saraf antara kedua tim memanaskan laga tersebut. Kubu Jerman, yang sebelumnya tampil perkasa di hadapan Inggris, meragukan kekuatan Argentina secara tim. Dua mantan kapten "Die Mannschaft", Lotthar Matthaeus dan Michael Ballack, pun yakin kepiawaian pemain Argentina tak akan bisa menandingi kekompakan tim muda Jerman. Matthaeus bahkan secara terbuka menyebut Maradona sebagai pelatih tanpa konsep, tanpa sistem yang jelas, dan hanya mengandalkan kelihaian teknik dari Messi dkk.
Maradona menanggapinya dengan dua hal. Pertama, ia menertawakan tudingan-tudingan negatif kepada dirinya dan menjawabnya dengan komentar-komentar kontroversial. Kedua, ia mengandalkan kekuatan Sang Khalik yang ia percaya bakal menuntun timnya ke jalur juara. Biarkan pemain bekerja dan serahkan hasilnya kepada Tuhan, begitulah prinsip Maradona. Ia selalu percaya Sang Pencipta akan kembali menemaninya seperti ketika ia membuat gol dengan tangannya ke gawang Inggris pada 1986. Maradona pun selalu yakin Tuhan akan kembali menyelamatkan timnya seperti dalam babak kualifikasi lalu.
Namun, di hadapan "Der Panzer", Argentina tak ubahnya pemain-pemain tenar Inggris yang tak berkutik di lapangan. Argentina tak bisa menahan serangan kompak Jerman. Argentina bermain secara individual, sementara Jerman menyerang secara berjemaah.
Lihatlah bagaimana Jerman selalu bisa menempatkan lebih dari tiga pemain sejajar setiap kali mencetak gol. Ini jelas menyulitkan kiper Sergio Romero karena jumlah bek Argentina yang melawan pemain Jerman jumlahnya tak lebih banyak.
Ketika diserang, Jerman juga selalu mengandalkan kekompakan. Setiap kali Messi membawa bola, pemain Jerman selalu mengepungnya, sementara kawan-kawan Messi justru terdiam seolah menunggu pemain terbaik dunia itu melewati lawan dan memberikan umpan matang. Nyatanya, Messi yang dikabarkan sempat cedera sebelum laga tersebut tak pernah melewati kepungan lawan.
Maradona lupa bahwa Messi butuh bantuan dari teman-temannya, seperti ketika Messi dibantu oleh suplai bola di Barcelona. Maradona alpa bahwa sepak bola bukan permainan perorangan, tapi selalu mengandalkan soliditas tim. Maradona lupa bahwa Tuhan juga bisa membuat kondisi berbalik di luar keinginan manusia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.