OLEH ARIF SUSANTO
Pertama, Mandela tidak mungkin dipisahkan dari perjuangan untuk penghapusan praktik diskriminasi ras, apartheid, yang sesungguhnya merupakan bagian dari masalah kemanusiaan universal. Kedua, Mandela adalah bagian dari suatu upaya besar untuk membuat sepak bola terbebas dari rasisme dan membuat penyelenggaraan Piala Dunia FIFA sungguh-sungguh mengglobal (bukan semata fenomena Eropa dan Amerika).
Dalam pernyataan yang disampaikan secara terpisah, Makhenkesi Stofile (Menteri Olahraga dan Pariwisata Afrika Selatan) dan Irvin Khoza (Ketua Komite Penyelenggara Lokal Piala Dunia FIFA 2010) sama-sama menyebut upaya untuk menyelenggarakan Piala Dunia di Afrika Selatan ini sebagai suatu ”perjalanan panjang nan berliku”. Gambaran ini sungguh serupa dengan catatan perjuangan Mandela untuk melawan sistem politik apartheid yang disebutnya sebagai ”perjalanan panjang menuju kebebasan”.
Gagasan untuk menggelar Piala Dunia di Afrika Selatan muncul pada 1994. Gagasan ini pada awalnya, tentu saja, dipandang sebagai suatu kekonyolan. Ini mirip dengan keyakinan Mandela bahwa Afrika Selatan mampu menjadi juara Piala Dunia Rugbi ketika tahun 1995 negeri yang baru terbebas dari rezim apartheid ini menjadi tuan rumah. Ia menjadikan momen Piala Dunia Rugbi 1995 sebagai momentum untuk rekonsiliasi nasional.
Mandela mendorong warga kulit hitam Afrika Selatan mendukung tim nasional rugbi Afrika Selatan, Springboks, yang semula dibenci warga kulit hitam. Berkat persuasi dan inspirasi Mandela, tim rugbi Afrika Selatan yang semula lemah akhirnya tampil sebagai juara dunia menaklukkan tim tangguh Selandia Baru. Kisah ini ditulis menjadi buku The Human Factor: Nelson Mandela and the Game That Change the World oleh John Carlin yang tahun lalu diangkat menjadi film Invictus oleh sutradara Clint Eastwood. Dunia menyaksikan kenegarawanan Mandela merujukkan warga kulit hitam dan Afrikaner (warga kulit putih).
Pada 1996, Persatuan Sepak Bola Afrika Selatan (SAFA) mulai mempersiapkan pengajuan untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 2006. Impian SAFA itu memperoleh dukungan dari Presiden Mandela (1994-1999) dan dari Presiden FIFA Sepp Blatter yang antusias dengan gagasan menggelar Piala Dunia di Benua Afrika. Serangkaian kampanye lantas dilakukan SAFA untuk membujuk dan meyakinkan persatuan sepak bola di sejumlah negara dan FIFA. Afrika Selatan bernegosiasi.
Puluhan tahun sebelumnya, Mandela berkeyakinan bahwa ”hanya manusia-manusia merdeka yang mampu bernegosiasi”. Keyakinan itu mendorong Mandela untuk memperjuangkan kesetaraan dan kebebasan bagi warga Afrika Selatan. Keyakinan itu pula yang membawa Mandela pada pengadilan yang tidak adil serta membuatnya berpindah-pindah dari Penjara Robben Island, Penjara Pollsmoor, dan Penjara Victor Verster selama sekitar dua puluh tujuh tahun. Berulang kali rezim apartheid menawarkannya kebebasan dengan syarat warga berkulit hitam menghentikan perlawanan dengan kekerasan, Mandela membalas: ”Kebebasan macam apa yang ditawarkan kepadaku ketika saudaraku sesama warga Afrika Selatan tidak dihargai?” (2002:118). Alih-alih mendorong meluasnya kekerasan, ”berbicara dengan lawan” telah menjadi keahlian mantan pengacara ini untuk menegosiasikan perubahan tatanan.
Mimpi Afrika Selatan sementara kandas ketika akhirnya Jerman, dengan selisih suara 12 banding 11, diputuskan menjadi penyelenggara Piala Dunia 2006. Diceritakan oleh Khoza bahwa delegasi Afrika Selatan yang kecewa oleh keputusan tersebut lantas mendatangi Mandela yang menyemangati, ”Anak-anak, bangkit dan bertarunglah kembali.” Mandela mendorong agar Afrika Selatan mencalonkan diri kembali, sementara sebagian orang telah kehilangan harapan. Hal ini menunjukkan mentalitas kepemimpinan yang kuat sebagaimana tertulis dalam biografinya, ”Ada kalanya seorang pemimpin berbeda dengan kawanannya, bergerak ke suatu arah baru, merasa pasti bahwa dirinya sedang memandu kalangannya ke arah yang tepat (2002:120).”
Afrika Selatan mencalonkan diri menjadi tuan rumah Piala Dunia 2010 dan mereka harus bersaing dengan Mesir, Libya, Tunisia, dan Maroko. Mandela bersama de Klerk (keduanya peraih Hadiah Nobel Perdamaian 1993) terlibat dalam beberapa presentasi untuk meyakinkan kesiapan Afrika Selatan. Sementara Presiden Tabo Mbeki mengemas strategi melalui pesan renaisans Afrika. Pada Mei 2004, FIFA memutuskan Afrika Selatan sebagai penyelenggara Piala Dunia 2010.
FIFA menyebut bahwa pesan Afrika Selatan sesungguhnya sederhana, tetapi meyakinkan (www.fifa.com). Bagi Afrika Selatan, ini akan melengkapi pengalaman mereka setelah menjadi tuan rumah Piala Dunia Rugbi 1995, Piala Afrika 1996, Piala Dunia Atletik 1998, dan Piala Dunia Kriket 2003.
Pada 2009, Afrika Selatan menjadi tempat gelaran Piala Konfederasi. Ini menjadi semacam pemanasan bagi Afrika Selatan sebelum tantangan yang sesungguhnya pada Piala Dunia FIFA yang dimulai hari ini. Beberapa kelemahan dalam perhelatan tersebut dinyatakan oleh panitia penyelenggara Piala Dunia FIFA telah menjadi masukan penting bagi mereka. Mandela sendiri memberikan pesan positif pada Desember 2009, ”Kami merasa terhormat dan tersanjung bahwa Afrika Selatan telah diberi penghargaan tunggal menjadi negara Afrika tuan rumah: ”Kami mesti mengupayakan keunggulan selama kami menjadi tuan rumah Piala Dunia sembari memastikan bahwa perhelatan ini akan memberi manfaat berkelanjutan bagi seluruh warga kami” (the Jakarta Post, 4/6/2010).
Selama sekitar satu bulan sejak 11 Juni 2010, dunia akan menyaksikan pertandingan-pertandingan sepak bola mengesankan untuk memperebutkan Piala Dunia FIFA. Sekali lagi, sulit untuk menafikan peran Mandela demi terwujudnya peristiwa ini. Saat menyerahkan trofi Piala Dunia, Blatter menunjukkan rasa hormat mendalam kepada Mandela, ”Anda adalah arsitek sesungguhnya Piala Dunia FIFA kali ini; kehadiran dan komitmen Anda membuat hal ini terwujud.” Keberhasilan penyelenggaraan Piala Dunia ini, agaknya, dapat menjadi kado istimewa bagi ulang tahunnya yang ke-92 pada 18 Juli nanti.
Dalam beberapa tahun terakhir, masalah kesehatan kerap menghambat kegiatan Mandela. Ketika mengunjungi Stadion Soccer City di Johannesburg, yang akan menjadi tempat pertandingan pembuka dan final Piala Dunia FIFA, pada 2 Juni 2010 Blatter dengan penuh harap mengatakan, ”Warisan terbesar Piala Dunia ini adalah perayaan bagi kemanusiaan Afrika dan tidak seorang pun yang lebih tepat mewakili hal ini ketimbang Nelson Mandela. Kami berharap bahwa ’Madiba’ akan hadir saat pertandingan pembuka di sini; ini adalah bagian dari warisannya dan dia telah bekerja keras untuk proyek ini.”
Kebesaran seorang pemimpin antara lain dapat dilihat dari apa yang diwariskannya. Sejak awal masa kepresidenannya, Mandela telah mempersiapkan suatu Afrika Selatan pasca-Mandela. Sebagai negarawan besar, Mandela menolak masa jabatan kedua setelah kepresidenannya berakhir pada 1999 kendati banyak pihak menghendaki hal itu. Mandela menyatakan, ”Saya pikir tidaklah bijak bahwa suatu negara kuat seperti Afrika Selatan mesti dipimpin oleh seorang yang sudah uzur. Anda membutuhkan orang yang lebih muda yang mampu mengguncang dan menggerakkan negeri ini” (Meredith, 1999:552). Akan sangat positif seandainya para pemimpin Indonesia memiliki sikap serupa.
Terakhir, kita berharap bahwa Piala Dunia FIFA 2010 tidak hanya akan memberi pelajaran tentang permainan yang fair dan bermutu. Piala Dunia kali ini semoga juga dapat mengajarkan betapa kebebasan dan kesetaraan adalah landasan pokok bagi masyarakat dunia yang beradab dan demokratis.