Mereka menolak rencana pembongkaran stadion dan meminta agar bekas markas Arema FC tersebut dijadikan monumen bagi Tragedi Kanjuruhan.
Keluarga korban tidak rela setelah proses peradilan yang tidak memuaskan kini memori atas kedzaliman di malam tragedi sepak bola terbesar kedua di dunia tersebut terancam menguap.
"Kalau dibongkar, bagaimana nasib anak-anak kami yang telah mendukung klub Arema ini? Sementara, tidak ada keadilan bagi mereka," kata Rini Hanifah (37), ibu salah satu korban Tragedi Kanjuruhan, Agus Riansyah (20).
Mereka ingin supaya Stadion Kanjuruhan dipertahankan sebagai saksi bisu bencana sepak bola yang menewaskan 135 korban jiwa.
Sekaligus, sebagai jejak sejarah dan sisa cerita yang merawat ingatan publik akan tragedi terburuk dalam sepakbola Indonesia itu.
"Biar keturunan kita tahu, bahwa pernah terjadi tragedi maut di dunia pesepak bolaan Indonesia," kata Isatus Saadah (25), kakak dari korban tragedi Kanjuruhan asal Kecamatan Pagelaran Kabupaten Malang, Wildan Ramadhani (16).
Penolakan pembongkaran dan desakan dibuatnya monumen bagi Tragedi Kanjuruhan juga menjadi bentuk perjuangan keluarga korban yang belum selesai mencari keadilan.
Keluarga sudah ikhlas dengan kepergian korban, namun masih tidak terima mengapa harus meninggal dengan cara yang tragis.
Sebab, para korban berangkat untuk menyaksikan pertandingan sepak bola namun justru meregang nyawa karena mendapatkan perlakuan layaknya kriminal.
Tragedi Kanjuruhan terjadi pada tanggal 1 Oktober 2022 usai pertandingan Arema FC vs Persebaya Surabaya pada pekan ke-11 Liga 1 2022-2023.
Tragedi dipicu respons berlebih aparat saat menghalau suporter yang akan menghampiri pemain Arema FC di lapangan.
Hal itu kemudian memicu suporter lain turun ke dalam lapangan yang dibalas tindakan represif berupa tembakan gas air mata dari para aparat keamanan.
Tembakan gas air mata yang sebagian diarahkan ke tribune penonton mengakibatkan kepanikan hebat.
Korban berjatuhan akibat berdesak-desakan, terinjak-injak dan sesak nafas saat berusaha menghindari gas air mata.
Tragedi ini kemudian menjadi perhatian internasional, khususnya dari kalangan sepak bola.
Sebab, FIFA telah lama melarang penggunaan gas air mata di dalam stadion.
Enam tersangka ditetapkan, yakni Direktur PT Liga Indonesia Baru (LIB) Akhmad Hadian Lukita, Ketua Panitia Pelaksana Pertandingan Arema FC Abdul Haris, Security Officer Suko Sutrisno.
Kemudian Komandan Kompi III Brimob Polda Jatim AKP Hasdarman, Kabag Ops Polres Malang Wahyu SS, dan Kasat Samapta Polres Malang Ajun Komisaris Polisi Bambang Sidik Achmadi.
Dalam proses peradilan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya memvonis dua orang terdakwa dari anggota polisi, Sidik Achmadi dan Wahyu Setyo Pranoto, bebas.
Begitu pula dengan Ahmad Hadian Lukita yang tidak diadili karena kurangnya bukti.
Kemudian, tiga terdakwa lain, Abdul Haris divonis penjara selama 1 tahun 6 bulan, Suko Sutrisno pidana penjara selama 1 tahun, dan Hasdarman divonis pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan.
Hingga saat ini masih ada rasa tidak puas akan hasil persidangan karena jumlah vonis hukuman yang dinilai tidak sepadan dengan banyaknya korban jiwa.
https://bola.kompas.com/read/2023/06/04/07300058/keluarga-korban-tragedi-kanjuruhan-gelar-aksi-tuntut-stadion-jadi-monumen