KOMPAS.com - Kehadiran timnas Israel sebagai salah satu partisipan Piala Dunia U20 2023 disebut menjadi salah satu studi kasus yang menarik diperdebatkan di bidang sport law (hukum olahraga), sport governance (tata kelola olahraga), atau sport politics (politik olahraga).
Hal tersebut disampaikan oleh Amal Ganesha, ketua Jakarta Business School's Centre for Sport Business and Governance (JBS Corsigo) kepada Kompas.com pada Minggu (26/3/2023) sore WIB.
Menurut Amal Ganesha, ada empat implikasi terkait polemik Israel dan potensi kehadiran mereka sebagai salah satu peserta Piala Dunia U20 2023 di Indonesia pada 20 Mei-11 Juni nanti.
"Implikasi pertama, kasus ini menunjukkan kebiasaan policymakers atau politisi dan pejabat publik -katakanlah pemerintah- yang sering terburu-buru dalam membuat kebijakan atau keputusan tanpa feasibility study atau analisis yang dalam dan komprehensif," tuturnya.
Bagi Amal, polemik ini akan rumit untuk dicari solusinya dan menurutnya akan terjadi sebuah deadlock.
"Ini berpotensi mengganggu penyelenggaraan Piala Dunia itu sendiri," lanjut pria yang juga mendirikan Ganesport Institute, suatu think tank kebijakan olahraga di Indonesia tersebut.
"Sebagai contoh, bagaimana penyelenggara menjamin aspek keamanan? Sedangkan banyak kelompok yang tidak terima kedatangan timnas Israel."
Kedua, menurutnya tujuan utama penyelenggaraan sport mega-event adalah mendapat political image, baik ke dalam maupun ke luar negeri.
Namun, hal ini bisa menjadi bumerang jika dengan menyelenggarakan Piala Dunia harus berkompromi dengan sikap politik Indonesia terhadap isu Palestina yang sudah dibangun selama puluhan tahun.
"Katakanlah, bisa saja, figur-figur yang menghendaki Piala Dunia ini dihelat akan dapat publisitas negatif dari kelompok Muslim yang merupakan mayoritas," ujar Amal menambahkan.
"Imbasnya, muncul kemungkinan figur-figur ini malah menjadi tidak populer dan tidak dipilih di kontes pemilu 2024."
Implikasi ketiga adalah melihat kasus ini dalam dua yurisdiksi, yakni yurisdiksi FIFA dan sistem legal nasional Indonesia.
Menurutnya, kedua aspek ini akan menimbulkan roadblock yang besar.
"Tidak ada rumusnya negara yang sudah lolos Piala Dunia tidak boleh ikutserta karena sikap politik tuan rumah," tutur lulusan Sports Management di Universitas Coventry, Inggris Raya, ini.
"Sah atau tidaknya keikutsertaan timnas adalah yurisdiksi FIFA dan tidak bisa diintervensi oleh negara manapun."
"Namun, di sisi lain, sangat tidak masuk akal juga jika Indonesia, yang berpuluh tahun bahkan tidak punya hubungan diplomatis dengan Israel, tiba-tiba memberikan legitimasi kepada Israel dengan cara menerima timnas Israel datang dan bermain di Piala Dunia junior di Indonesia."
"Ini akan menjadi dilema yang runyam."
Kemudian, Amal menuturkan bahwa isu ini lagi-lagi menjadi bukti bahwa pemisahan politik dari olahraga dan sebaliknya adalah mitos.
"Yang semestinya dilakukan, adalah memastikan hubungan antara politik dan olahraga itu tadi baik dan etis, termasuk juga kita perlu memisahkan olahraga dari 'bad politicians'," lanjutnya.
Ia mengatakan, untuk mencapai hal tersebut diperlukan tata kelola olahraga yang baik atau good sport governance.
"Kesimpulannya, menyelenggarakan sport mega-event ini memang perlu 'micro and macro analysis' yang dalam, jadi jangan asal bidding saja. Kita berharap ke depan ada keputusan atau solusi yang mampu menyenangkan banyak pihak."
Amal pun menutup komentarnya dengan mengatakan bahwa polemik Israel dan keikutsertaannya di Piala Dunia junior ini adalah emerging fact yang tidak diantisipasi oleh para pembuat kebijakan dan pejabat publik Indonesia, khususnya di area olahraga.
"Saya prediksi ini akan rumit untuk dicari solusinya dan saya pikir akan terjadi deadlock, yang justru berpotensi mengganggu," ujarnya menutup.
https://bola.kompas.com/read/2023/03/26/18013698/empat-implikasi-polemik-timnas-israel-di-piala-dunia-u20-indonesia