Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Post Mortem Kegagalan Ajax dan Barcelona, Anak Didik Cruyff Merana

KOMPAS.com - Narasi final Liga Champions bergeser dari pertemuan Ajax Amsterdam dan Barcelona, dua tim yang terlilit erat dengan filosofi sepak bola Johan Cruyff, menjadi duel sesama tim Inggris hanya dalam waktu satu pekan.

Post mortem atau pemeriksaan akhir dari tragedi semifinal Liga Champions Ajax dan Barcelona memunculkan beberapa kesamaan penyebab.

Tanggal 25 April 2019, lima hari sebelum laga-laga leg pertama semifinal Liga Champions bergulir, seharusnya menjadi hari ulang tahun Johan Cruyff yang ke-72. 

Legenda asal Belanda itu meninggal pada Maret 2016 pada usia 68 tahun.

Ajax dan Barcelona, dua tim yang begitu terikat dengan filosofi bermain Cruyff pun memberi penghormatan sempurna kepada pria kelahiran Amsterdam ini.

Pada leg pertama, Barcelona menundukkan Liverpool 3-0 di Camp Nou sementara Ajax mengalahkan Tottenham 1-0 di London Utara. Hasil-hasil itu didapat kedua mantan klub Cruyff menyapu lawan dengan gaya totaal voetbal yang menjadi warisan sang legenda.

Kemenangan Ajax di kandang Tottenham digambarkan oleh media olahraga Belanda, Voetbal International, sebagai satu lagi momen pembuktian para Amsterdammers setelah mereka menggebrak Eropa dengan mengalahkan Real Madrid dan Juventus.

"Para pemain Ajax bukan bunga yang mekar hanya sehari, mereka adalah musim semi yang berkepanjangan," tulis mereka.

Sementara itu, kejeniusan Lionel Messi memaksa Liverpool menelan kekalahan 0-3 di Camp Nou walau The Reds mengimbangi kekuatan Barcelona hampir sepanjang laga.

"Magis yang Messi tebarkan ke Barcelona dan seluruh sepak bola selama lebih dari satu dekade mengubah laga ini dalam waktu 15 menit terakhir," tulis Phil McNulty di BBC.

Final impian bagi para murid Johan Cruyff mulai terbentuk. Wanda Metropolitano, stadion Atletico Madrid yang menjadi venue laga final Liga Champions, seakan siap menjadi teater totaal voetbal.

Sayang, narasi yang terbangun itu hilang dalam waktu 45 menit.

Barcelona dan Ajax sebenarnya masih bisa mengimbangi Liverpool dan Tottenham pada babak pertama laga-laga leg kedua.

Ajax memimpin 2-0 pada paruh babak di Johan Cruyff Arena, sedangkan Barcelona menciptakan beberapa kesempatan di Anfield walau tertinggal 0-1 dari gol cepat Divock Origi.

Namun, kedua tim berantakan pada babak kedua.

Entah apa yang diinstruksikan pelatih Barcelona, Ernesto Valverde, dan bos Ajax, Erik Ten Hag, penampilan kedua tim setelah turun minum hanya bayang-bayang dari apa yang mereka lakukan selama satu setengah pertandingan sebelumnya.

Secara kolektif, Ajax dan Barcelona hanya mencatatkan tiga tembakan tepat sasaran pada babak kedua laga mereka.

Para murid Cruyff di Amsterdam kebobolan dua gol dari tembakan kaki kiri Lucas Moura pada menit ke-55 dan ke-59, sedangkan Barcelona dari kaki kanan dan kepala Georginio Wijnaldum pada menit ke-54 dan ke-56.

Piston penggerak di ruang mesin Ajax, Frenkie De Jong, tak berdaya digilas lapangan tengah Spurs.

Pada babak pertama, pemain berusia 21 tahun itu mengoleksi lima tackling sukses dari lima percobaan, lima ball recovery, intersep satu kali, dan memenangi duel udara dua kali.

Sementara itu, pada babak kedua, De Jong gagal mencatatkan tackling sukses sekali pun dari tiga percobannya. Ia juga selalu kalah dalam duel udara sebanyak tiga kali dan tanpa sekali pun intersep.

Pelatih Ten Hag tiga kali memasukkan bek pada babak kedua. Sementara, pelatih Barca, Ernesto Valverde, mencoba mengulang pergantian sama dengan leg pertama, memasukkan bek kanan Nelson Semedo untuk Philippe Coutinho.

Beribu sayang, usaha mereka tanpa hasil. Siratan takdir mengharuskan kedua tim tumbang berkat gol penentu nan dramatis dari pemain nomor 27 lawan-lawan mereka, Divock Origi (Liverpool) serta Lucas Moura (Tottenham).

Ajax gagal menjadi klub asal Belanda pertama yang melenggang ke final Liga Champions sejak mereka kalah dari Juventus pada final 1996.

Mereka kalah dari tembakan Lucas Moura pada menit kelima injury time.

Pertahanan Ajax yang digalang kapten muda Matthijs de Ligt dibuka tidak lewat skema penyerangan rumit lawan, tetapi lewat route one football (bola jauh ke depan) yang menjadi gaya khas sepak bola Inggris.

"Hasil ini bukan tactical, hanya murni dari hati. Tak ada formasi. Terkadang sepak bola bisa seperti ini. Hal-hal dasar - bermain dari hati, emosi, dan gairah, berlari lebih jauh dari lawan Anda - akan selalu mengalahkan taktik," tutur Darren Fletcher, mantan gelandang Manchester United, kepada BBC.

Jika gol penentu Tottenham datang dari hati, gol pamungkas Liverpool datang dari kepala.

Kecerdikan Trent Alexander-Arnold mengeksploitasi kelengahan para pemain Barcelona dari situasi sepak pojok berbuah assist bagi gol keempat dan penentu dari Divock Origi.

"Gol keempat menggambarkan Barcelona: secara mental dan fisik, mereka lamban dan rentan kesalahan. Barcelona tak bisa mengimbangi kecepatan pemikiran dan kaki-kaki pemain Liverpool," tutur Andy West, pandit sepak bola Spanyol.

"Barcelona inferior, takut, dan tak dapat menemukan jawaban," tulis Guillem Balague, pandit siaran Liga Spanyol di Sky Sports.

Kesalahan manajemen pertandingan dari Barcelona juga menjadi sorotan mantan striker timnas Inggris dan top scorer sepanjang sejarah Premier League, Alan Shearer.

"Mereka mempertahankan tempo cepat, berulang kali langsung memulai laga dari bola mati. Barcelona terus bermain kencang. Hal itu menjadi makanan empuk bagi Liverpool," tutur Shearer.

Begitu dekat, tetapi begitu jauh. Pada akhirnya, anak-anak didik penganut ajaran Johan Cruyff harus merelakan gelar Liga Champions musim ini.

https://bola.kompas.com/read/2019/05/09/22355058/post-mortem-kegagalan-ajax-dan-barcelona-anak-didik-cruyff-merana

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke