KOMPAS.com - Tumbangnya Edy Rahmayadi dari jabatan Ketua Umum PSSI disebut-sebut akibat operasi senyap yang dilancarkan oleh Komite Perubahan Sepak Bola Nasional (KPSN).
Hal tersebut diketahui dari pernyataan mantan wartawan olahraga, Yesayas Oktovianus, dalam program Mata Najwa di Trans 7 yang mengusung tema, “PSSI Bisa Apa III: Saatnya Revolusi!”, pada Januari 2019.
Tiga hari menjelang Kongres PSSI pada 17 Januari 2019, voters atau para pemilik hak suara PSSI menggelar pertemuan rahasia di Hotel Royal Kuningan, Jakarta Selatan. Mereka menggalang mosi tidak percaya untuk Edy Rahmayadi yang beberapa hari menjelang kongres bersikukuh tak mau mundur.
Yesayas mengungkapkan KPSN memang didirikan untuk melengserkan Edy. Karena itu, Yesayas yang mengklaim sebagai pendiri dan sekaligus Ketua KPSN pertama yang hanya berumur sehari, memilih untuk mundur dari tim KPSN.
Yesayas mundur dari tim KPSN karena tidak sanggup memenuhi target melengserkan Edy Rahmayadi dari kursi Ketua Umum PSSI hanya dalam waktu satu bulan. “Target satu bulan itu terlalu berat dan tidak masuk akal,” katanya.
Yesayas menilai mundurnya Edy dari PSSI karena memang sudah tidak nyaman lagi dengan adanya penangkapan demi penangkapan terhadap tersangka match fixing, selain ada mosi tidak percaya yang digalang KPSN melalui voters atau Kongres PSSI di Bali. Itu seperti operasi intelijen yang membuat Edy tidak nyaman.
Baca juga: PSSI Hormati Putusan FIFA soal Status Ezra Walian Tak Bisa Bela Timnas
Suhendra Hadikuntono sebagai Ketua KPSN saat ini menampik klaim Yesayas. Dia menyatakan KPSN didirikan atas dasar rasa keprihatinan yang mendalam atas prestasi sepak bola nasional yang tidak mampu bersaing baik di tingkat regional maupun dunia.
Suhendra mengungkapkan salah satu tujuan mendirikan KPSN adalah memberantas match fixing dan melakukan perubahan terhadap PSSI ke arah yang lebih baik.
“Bahwa dalam perjuangan ke arah PSSI yang lebih baik itu ada pihak-pihak yang menjadi korban, misalnya Ketua Umum mundur atau Plt Ketua Umum menjadi tersangka, itu konsekuensi perjuangan. Revolusi kadang-kadang memang menelan anak kandungnya sendiri,” ujar Suhendra.
Suhendra pun menjawab diplomatis, "Jika saya kalah di Sumut, tapi menang di PSSI, skor jadi seri 1-1 dong."
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.