KOMPAS.com - "Sudah sejak lama, hati saya menancap di Italia karena sepak bola terbaik berada di sana. Italia, Italia, Italia, itulah yang saya pikirkan," ujar Dennis Bergkamp.
Serie A pada masa jayanya, memang menjadi destinasi impian untuk Bergkamp muda. Demi merealisasikannya, dia pun merancang perencanaan sematang mungkin.
Musim panas 1993 atau ketika usianya menginjak 24 tahun ditetapkan Bergkamp sebagai waktu yang tepat. Satu tahun sebelum itu, dia belajar bahasa Italia agar benar-benar fasih berkomunikasi dengan calon rekan setimnya.
Taktik turut dipertimbangkan. Inter Milan menjadi pilihan karena Ernesto Pellegrini selaku presiden ketika itu, berjanji menelurkan sepak bola ofensif.
Dari sudut pandang Pellegrini, perekrutan Bergkamp memang merupakan upaya untuk menandingi AC Milan asuhan Arrigo Sacchi, yang menguasai Eropa dan Italia dengan sepak bola menyerang saat itu.
Bahkan, sebelum Bergkamp menendang bola dengan balutan seragam biru hitam, sang patron sudah menyatakan, "Dia adalah nomor 10 terbaik dunia."
Terlepas dari sepak bola menyerang sebagai benang merah, Inter tetaplah mengandung risiko buat Bergkamp. Sudah lama sekali tak ada pesepak bola Belanda berseragam Inter.
Sebelum Bergkamp, pemain terakhir adalah Faas Wilkes. Sosok yang pernah menjadi top scorer Belanda sepanjang masa itu membela Inter dari 1949 hingga 1952.
Jadi, bisa dikatakan, Bergkamp adalah alfa dari rantai pemain Belanda di Inter Milan, setidaknya setelah era 1990-an.
Sayang, kenyataan tak seindah angan Bergkamp. Dia bak mengalami cultural shock ketika memulai hari-harinya di Italia.
Taktik menjadi masalah pertama Bergkamp. Pelatih Osvaldo Bagnoli cenderung mengusung serangan balik guna menunjang kecepatan Ruben Sosa, yang akhirnya mampu mencetak 16 gol pada 1993-1994.
Sosa boleh saja dimanjakan dengan taktik tersebut. Sebaliknya, Bergkamp yang notabene kaya fantasi, justru linglung.
"Saya maju dengan Sosa dan dibantu dua orang gelandang. Saya melihat ke belakang, tetapi pemain lainnya masih bertahan di daerah sendiri. Gap besar di antara kami adalah area kematian dan telah membunuh saya," tutur Bergkamp.
Dengan kecerdasan sepak bola sepertinya, Bergkamp seharusnya bisa menyesuaikan diri dari sisi taktik. Namun, bagaimana bisa belajar kalau bergaul saja dia tidak mampu?
Dennis Bergkamp. Genius pic.twitter.com/nqX8b8Rw5o
— ?? (@DejiCNO) July 31, 2016
Di ruang ganti, Bergkamp memang merupakan sosok introvert. Gara-gara itu, dia bak termarjinalkan oleh rekan rekan setimnya.
"Setiap orang sudah mencoba, tetapi dia benar-benar dingin," tutur eks pemain belakang Inter, Riccardo Ferri.
Adapun Giuseppe Bergomi menyatakan, "Bergkamp harus beradaptasi dan coba menjadi lebih Italia."
Berbagai cerita buruk itu membuka pintu keluar Bergkamp dari San Siro. Dia pun dilego ketika kepemilikan mayoritas diambil alih Massimo Moratti pada 1995.
Sejak itu, ada tujuh pemain Belanda menguji peruntungan di Inter. Namun, mereka bernasib serupa. Ambil contoh Clarence Seedorf dan Andy van der Meyde.
Pengecualian untuk Wesley Sneijder, yang bersedia menanggalkan ciri Belanda demi berintegrasi dengan taktik grendel Jose Mourinho.
Frank De Boer
Dua puluh tiga tahun berselang, Inter kembali kedatangan Frank De Boer. Dia ditunjuk sebagai pelatih untuk menggantikan Roberto Mancini.
Serupa Bergkamp, De Boer adalah alfa. Sebelumnya, tidak pernah ada pelatih asal Belanda menangani Inter Milan.
Hanya, seperti Bergkamp pula, De Boer melambungkan harapan Interisti, sebutan untuk pendukung Inter. Interisti memang boleh berharap menilik curriculum vitae pelatih barunya.
Bersama Ajax, De Boer menjuarai Eredivisie empat musim beruntun. Tidak pernah ada pelatih menorehkan prestasi serupa.
Di Ajax, De Boer turut dibantu Bergkamp yang menjabat sebagai asisten. Keduanya melihat sepak bola dari kacamata serupa, Cruyffian.
"Saya, Bergkamp, Marc Overmars, dan Edwin van der Sar akan berusaha mempertahankan visi Johan Cruyff," ucap De Boer ketika sang mentor menanggalkan jabatan penasihat klub, November 2015.
Kata De Boer sesuai realita. Permainan Ajax selalu dihiasi kebebasan berekspresi dari setiap individu, sepak bola atraktif, dan gol-gol cantik.
Hanya, gaya tersebut tidak mendapatkan tempat di Italia, tempat di mana proses adalah segalanya. Tidaklah mengherankan apabila sedikit pelatih asal Belanda berani mengadu nasib di Negeri Piza.
Satu-satunya yang nekat hanyalah Clareence Seedorf. Masa baktinya bersama AC Milan cuma berlangsung 144 hari.
Agar tidak bernasib serupa, De Boer tentu harus bisa mengintegrasikan diri dengan gaya Italia. Ketidakmampuan akan itu berarti kegagalan. Sudah terbukti dengan cerita Bergkamp
Perihal tantangan beradaptasi, De Boer sudah menebar janji. Dia mengaku sudah mahfum dengan gaya Italia.
"Saya memahami bahwa kultur Italia berbeda dengan negara lain. Namun, di mana pun Anda bermain, sepak bola tetaplah 11 melawan 11. Jadi, saya tidak melihat ada masalah perihal adaptasi," ucap De Boer pada sesi perkenalannya, Selasa (9/8/2016).