KOMPAS.com - Pesepak bola Indonesia dipaksa memutar otak sejak kompetisi semua level dihentikan pada 2 Mei 2015. Mereka harus mencari cara bagaimana menafkahi diri dan keluarga karena klub pun enggan keluar dana.
Kebanyakan pesepak bola nasional merambah dunia wirausaha. Namun, ada pula yang mencoba peruntungan di layar kaca atau tergiur dengan penghasilan di Go-Jek.
Berikut ini adalah 5 usaha pemain sepak bola nasional saat kompetisi vakum:
Airlangga Sucipto
Airlangga Sucipto tak kehilangan penghasilan ketika sepak bola nasional mengalami vakum. Bersama Tony Sucipto, Airlangga merintis bisnis dengan mengawinkan bidang kuliner dan pariwisata. Namanya adalah Street Gourmet.
“Pengunjung tidak hanya mencicipi makanan. Mereka juga diajak keliling Kota Bandung,” kata mantan pemain Persib Bandung dan Semen Padang ini.
Pengunjung diajak berwisata kuliner dengan bus berkecepatan maksimal 30 kilometer per jam. Di dalam bus, pemandu wisata menceritakan bangunan di Bandung dan memutar video Bandung tempo dulu.
Hariono
Hariono memasarkan produk H24 melalui akun Instagram pribadinya dan menitipkannya di Viking Fans Shop. Pesepak bola berusia 30 tahun ini juga berencana melebarkan sayap ke tempat kelahirannya, Sidoarjo.
"Bertahap saja sambil mempelajari bisnis ini," tutur Hariono.
Oktovianus Maniani
Pemain asal Papua tersebut tak kesulitan memerankan tokoh dengan namanya sendiri karena sinetron tersebut masih berkaitan sepak bola. Lantaran keasyikan bermain sinetron, Okto dipecat oleh Pusamania Borneo FC.
Setelah tidak bermain sinetron lagi, Okto memilih trial di salah satu klub Malaysia Premier League, UiTM FC. Kurang lebih berlatih di sana selama 2 minggu, Okto memilih kembali ke Papua.
Anang Ma'ruf
Berpofesi sebagai atlet memang belum menjanjikan kesejahteraan. Itulah yang dirasakan mantan bintang Persebaya Surabaya, Anang Ma'ruf.
Selepas pensiun, Anang memilih menjadi pengendara ojek berbasis aplikasi. "Saya sudah bukan pemain bola lagi. Saya rakyat biasa, seperti Anda semua," kata Anang.
Meski begitu, Anang mengaku tak melupakan pengabdiannya sebagai pelatih di Sekolah Sepak Bola Simo United kelompok usia 10-17 tahun. Simo adalah nama sebuah kampung di Surabaya.
"Biasanya saya melatih pagi dan sore harinya, sehingga meski jadi pengendara Go-Jek saya masih di dunia sepak bola," tuturnya.
Galih Sudaryono
Galih juga harus berpindah-pindah untuk mencari titik keramaian. Salah satu titik yang dimanfaatkan Galih adalah Stadion Manahan, Solo.
Tak dimungkiri Galih, penghasilannya jauh menurun apabila dibandingkan dengan gaji yang diterimanya sebagai penjaga gawang. Namun, demi menghidupi keluarga, pria kelahiran Semarang ini rela melakukannya.
"Kalau tidak bekerja, tidak bisa menanak nasi. dapur tidak mengepul. Saya bahkan akan terus mengurus bisnis ini meski kompetisi sudah digelar lagi," kata Galih seperti dikutip dari Tabloid BOLA.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.