Oleh Yesayas Oktovianus
Jalan menuju rekonsiliasi, atau penyatuan dua liga, memberi harapan positif ketika Menteri Pemuda dan Olahraga Roy Suryo bersama wakil dua kubu yang berseteru, Djohar Arifin (PSSI) dan La Nyalla Mattalitti (KPSI), memperlihatkan niat baik dengan berkomitmen dan berniat menyelesaikan konflik sebelum 20 Maret 2013. Mengapa sebelum 20 Maret 2013 konflik sepak bola kita sudah harus berakhir? Jawabannya, tentu karena Federasi Asosiasi Sepak Bola Internasional (FIFA) mengancam menjatuhkan sanksi.
Jembatan penyelesaiannya adalah nota kesepahaman (MOU) yang ditandatangani wakil PSSI, KPSI, ISL, dan dua saksi AFC dan FIFA pada 7 Juni 2012 di Kuala Lumpur, Malaysia. Isinya: (dalam terjemahan bebas) 1. Empat anggota Komite Eksekutif kembali ke PSSI; 2. ISL kembali ke yurisdiksi PSSI sampai dengan penyatuan dua liga (IPL dan ISL) pada 2014; 3. Diadakan kongres dengan peserta merujuk Kongres Solo, 9 Juli 2011, dan peserta berdasarkan klub atau institusi; 4. Perubahan statuta.
Butir pertama dari empat butir MOU telah dijalankan dengan kembalinya empat anggota Komite Eksekutif tanpa syarat ke PSSI. Sebagai anggota Komite Eksekutif yang sah, La Nyalla Mattalitti, Roberto Rouw, Tonny Apriliani, dan Erwin Dwi Budiawan telah menjalankan tugas dan fungsinya. Bersama dua anggota lain, Djohar Arifin sebagai Ketua Umum PSSI dan Mawardi, mereka berenam rapat dan menerbitkan keputusan resmi, yakni memecat Sekretaris Jenderal PSSI Halim Mahfudz dan menyetujui pembentukan Badan Tim Nasional (BTN).
Hasil keputusan itu otomatis telah mengubah kinerja PSSI ke depan, antara lain FIFA telah mencantumkan nama Hadiyandra sebagai Sekjen PSSI yang baru dan menghilangkan nama Halim Mahfudz di situsnya. BTN telah bekerja dan mulai memanggil pemain dari kedua liga (IPL dan ISL) ke tim nasional. Maka, keabsahan empat anggota Komite Eksekutif (La Nyalla, Tonny, Roberto, dan Erwin) tak perlu menunggu pengesahan di kongres, 17 Maret.
KPSI dinonaktifkan
Lanjutan dari kembalinya empat anggota Komite Eksekutif itu, Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI) pun sementara sudah dinonaktifkan atau secara otomatis sudah tidak ada dan tidak perlu menunggu penghapusan secara resmi di kongres.
Jika yang terakhir ini tidak dilakukan, keempat anggota tersebut layak dinilai bersikap ambivalen. Ya, mereka bekerja sebagai Komite Eksekutif PSSI dan membawa kepentingan KPSI dalam setiap negosiasi menuju rekonsiliasi sampai dengan kongres pada 17 Maret.
Butir kedua dari MOU menegaskan, ISL segera kembali ke yurisdiksi PSSI. Yang dimaksud dengan kembali ke yurisdiksi PSSI adalah semua perangkat pertandingan, seperti wasit dan pengawas pertandingan, harus dari PSSI. Perihal transfer pemain harus lewat PSSI. Bila terjadi pelanggaran disiplin atau etika, harus lewat Komite Disiplin dan Komite Etik PSSI. Ini semua belum dilakukan ISL yang berada di bawah payung operator PT Liga Indonesia (LI). Secara fakta, ISL kini masih di bawah yurisdiksi PT LI, bukan PSSI.
Sebagai lembaga yang dipercayai FIFA untuk menyelesaikan konflik, Menpora sebaiknya segera membereskan butir kedua dari MOU tersebut. Jika tidak, belum kembalinya ISL ke yurisdiksi PSSI ini akan menjadi duri dalam penyelesaian konflik. Dan bila tidak selesai di kongres nanti, FIFA hampir pasti akan menjatuhkan sanksi bagi Indonesia.
Perlu disadari bahwa di mata FIFA, akar konflik sepak bola Indonesia adalah adanya dualisme kompetisi, IPL dan ISL, yang tidak berada di bawah satu yurisdiksi, yaitu federasi resmi yang diakui FIFA, PSSI. Bila kongres pada 17 Maret tidak berhasil memutuskan ISL kembali ke yurisdiksi PSSI tanpa syarat, bersiap-siaplah menerima sanksi FIFA pada 20 Maret. Bila itu terjadi, kita semua telah gagal, baik pemerintah dalam hal ini Menpora, PSSI, media, maupun pemangku kepentingan lain, dalam mengawal Indonesia lepas dari sanksi FIFA.
Sebagai yang telah dipercayai FIFA untuk menjembatani penyelesaian konflik ini, Menpora sebetulnya bisa segera menyelesaikan butir kedua MOU tersebut sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Selain itu, Menpora juga bisa berpegang pada UU Sistem Keolahragaan Nasional (SKN) Bab V Pasal 13 Butir 1, yang antara lain berbunyi: Pemerintah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengawasi penyelenggaraan keolahragaan secara nasional.
Dengan kata lain, Menpora sudah bisa menjatuhkan sanksi kepada pihak yang tidak menjalankan perintah MOU yang sudah disepakti bersama.
Peserta kongres
FIFA juga memerintahkan PSSI untuk memverifikasi peserta kongres yang merujuk pada Kongres Solo. Yang diverifikasi adalah klub dan institusi, bukan personal. Pada 5-8 Maret, tim verifikasi telah bekerja, tetapi terjadi deadlock dalam memverifikasi 18 pengurus provinsi (Pengprov). Akhirnya, tim memutuskan menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada 11 anggota Komite Eksekutif untuk memutuskan dalam rapat pada Rabu (13/3).
Apa pun keputusan Komite Eksekutif mengenai nasib ke-18 Pengprov pada 13 Maret harus diterima semua pihak mengingat ini adalah keputusan organisasi internal PSSI. Keputusan yang layak dihormati. Menpora atau Tim Gugus Tugas yang dibentuk Menpora tidak bisa mengintervensi atau menganulir keputusan tersebut.
Bila semua pihak yang terlibat konflik berniat tulus menyelesaikannya, semua akan menjadi sangat mudah. Sebaliknya, jika niat telah dicetuskan, tetapi hati dan implementasi menyangkal, apa pun jalan yang ditempuh tidak akan berhasil menyelesaikan konflik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.