JAKARTA, KOMPAS -
Ketua Bidang Umum Persis Solo Paulus Haryoto mengakui, klub kian sulit mendapatkan pemasukan karena konflik persepakbolaan nasional yang bermuara pada adanya dua liga profesional dan dua kepengurusan. Padahal, seperti klub-klub profesional lain, Persis sudah tidak mendapat suntikan dari APBD.
Dalam semusim terakhir, di Indonesia bergulir dua liga, yaitu Liga Primer Indonesia di bawah PT Liga Prima Indonesia Sportindo, yang diakui Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), dan Liga Super Indonesia di bawah PT Liga Indonesia yang didukung Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI).
”Penggalangan dana dari sponsor, masyarakat luas, dan tiket harus dilakukan. Dibutuhkan dana sedikitnya Rp 6 miliar untuk memulai kompetisi,” ujar Paulus. Namun, di tengah konflik yang terus berkecamuk, klub-klub pun sulit menggaet sponsor.
”Faktor trust (kepercayaan) pihak sponsor itu runtuh dengan situasi (konflik) saat ini,” ujar Akmal Marhali, CEO Persiraja Banda Aceh. Ia menuturkan, klub yang dikelolanya sudah mendapat lampu hijau kerja sama
Akmal mengakui, klubnya juga tersendat membayar gaji pemain. Sejak Februari lalu, klubnya hanya bisa membayar 30-50 persen gaji dan baru terbayar lunas saat kompetisi berakhir Juni lalu. ”Kontrak mereka sebenarnya sampai September, tetapi sesuai kesepakatan bersama, kontrak diakhiri Juni,” paparnya.
Pelatih Klub PSPS Pekanbaru Mundari Karya yang juga mengalami penundaan pembayaran gaji musim lalu menilai, konflik persepakbolaan nasional harus segera diakhiri. Jika tidak diakhiri, keterlambatan gaji pemain bisa kembali terulang pada musim kompetisi tahun depan.
”Musim depan keadaan seperti ini bisa kembali terjadi. Sebab, di tengah dualisme kompetisi, klub sulit mencari sponsor, penonton sedikit karena pertandingan sering harus pindah-pindah stadion hingga ke kabupaten yang jauh, dan menyulitkan suporter untuk menonton. Konflik ini harus diakhiri,” ujarnya.
Kasus tertunggaknya gaji pemain di klub sepak bola Indonesia mencapai titik ekstrem dengan meninggalnya pemain Persis asal Paraguay, Diego Mendieta, Selasa dini hari. Ia meninggal karena sakit dan tidak memiliki uang untuk membayar biaya pengobatan sebab klubnya menunggak gaji empat bulan.
Kasus seperti itu tidak dialami Mendieta sendiri. Pemain asal Guinea, Camara Abdoulaye Sekou (27), juga mengaku belum menerima gaji tujuh bulan dari Persipro Probolinggo yang tampil di Divisi Utama PT LPIS. Ia bercerita dikontrak Persipro, Desember 2011, satu musim dengan nilai kontrak Rp 150 juta.
”Saya baru dibayar Rp 25 juta sebagai uang muka. Sisanya akan dibayar dalam bentuk gaji Rp 16 juta per bulan. Namun, sejak tanda tangan kontrak bulan Desember, saya tidak mendapat gaji,” tutur Camara kepada Kompas.
Ia tetap bertahan di Persipro hingga akhir musim, Juni, karena masih berharap klubnya akan memenuhi haknya. Saat ini ia membiayai hidup dirinya serta istri dan satu anaknya dengan main di laga antarkampung.
”Saya dapat Rp 300.000 dan Rp 400.000 sekali main. Itu saya pakai untuk membeli beras dan kebutuhan pokok lainnya. Tetapi, saat ini saya kesulitan membayar rumah kontrakan yang sudah menunggak dua bulan,” katanya.
Ironisnya, meski klub-klub Indonesia krisis keuangan, minat pemain asing bermain di liga Indonesia tetap tinggi. ”Di sini bayarannya cukup bagus. Gaya bermainnya juga tidak terlalu jauh dan kami bisa mudah beradaptasi,” kata Erdgar Rolong, rekan senegara Mendieta.
Gaji pemain asal Amerika Selatan, khususnya Paraguay, per bulan 1.000-1.500 dollar AS (Rp 9,5 juta-Rp 14,25 juta) di negara asalnya. Namun, di Indonesia mereka bisa mendapat gaji lebih besar, 4.000-6.000 dollar AS (Rp 38 juta hingga Rp 58 juta) per bulan.