JAKARTA, Kompas.com — Kisah kematian pemain asal Paraguay, Diego Mendieta, membuktikan berita tragis atlet atau mantan atlet selalu menarik diulas, tetapi tak pernah menghasilkan solusi.
Baru pekan lalu, Harian Kompas edisi Jumat (30/11/2012) memuat (lagi) tentang kisah sedih nasib mantan atlet nasional Indonesia. Kali ini kisah Leni Haini, mantan atlet perahu naga asal Jambi yang pernah mempersembahkan 2 medali emas dan 2 perak di ajang SEA Games 1997, serta 1 emas dan 3 perak SEA Games 1999.
Faktanya, Leni kini hidup serba kekurangan secara ekonomi. Bukan itu saja, ia juga terkena cobaan hidup karena putrinya, Habibatul Fasihah (2 tahun 8 bulan), terkena penyakit kulit yang membutuhkan biaya pengobatan yang besar.
Leni hanya tamatan SD dengan penghasilan sebagai buruh cuci, sementara suaminya, M Ikhsan, hanya petugas kebersihan di kompleks DPRD Jambi dengan gaji Rp 1 juta per bulan.
Kompas menulis, "Kemiskinan yang menimpa atlet nasional seperti Leni adalah realitas dalam dunia olahraga Indonesia. Masa muda atlet dihabiskan dengan latihan dan latihan. Pendidikan kognitif terabaikan. Tanpa pendidikan, atlet terjun tanpa keterampilan dan wawasan menghadapi realitas hidup setelah ”pensiun”.
Ketika diunggah ke Kompas.com, tulisan ini diunduh oleh lebih dari 20 ribu users. Suatu pencapaian yang lumayan untuk berita olahraga.
Komentar yang muncul dari para users rata-rata menyayangkan nasib yang menimpa mantan atlet tersebut. Mereka juga menyalahkan pemerintah, baik pemerintah daerah maupun pusat yang dianggap tidak memperhatikan nasib mantan atlet tersebut.
Cerita sedih mantan atlet memang selalu menarik perhatian pembaca. Para pembaca yang entah mengenal atau tidak nama atlet tersebut cederung menunjukkan simpati mereka dan kemudian menunjuk ada sistem yang salah dalam pembinaan olahraga negeri ini.
Pemberitaan olahraga dengan pendekatan tragis ini dalam dunia jurnalisme Indonesia dikenal dengan istilah "Gurnam Singh Style". Bukan istilah baku memang, tetapi istilah ini dikenal bayak kalangan media.
Gurnam Singh adalah seorang mantan atlet maraton yang terkenal pada zamannya. Ia meninggal dunia pada 7 Desember 2006 dalam usia 75 tahun di Jakarta. Enam tahun yang lalu.
Gurnam cukup tenar pada tahun 1960-an. Pria keturunan Sikh yang besar di Medan, Sumatera Utara, ini adalah pelari peraih medali perak di Asian Games IV di Jakarta tahun 1962.
Raihan medali ini menjadi sangat berarti karena merupakan medali pertama buat kontingen Indonesia di ajang Asian Games IV tersebut. Karena prestasinya tersebut, Gurnam kemudian dihujani hadiah baik dari Pemda Sumatera Utara maupun pusat, dari uang hingga rumah.
Namun, persoalan hidup seperti keluarga setelah Gurnam tak lagi aktif sebagai atlet membuat semua kejayaan itu seperti tak lagi berbekas. Ia kehilangan semuanya, dari harta benda hingga keluarga.
Bagi media massa, sejak awal 1970-an, nama Gurnam Singh identik dengan kisah hidup tragis seorang manusia. Ia kehilangan rumah karena digusur, hingga naik kapal laut dari Medan ke Jakarta pada tahun 2005 untuk meminta perhatian pemerintah pusat.
Di Jakarta, Gurnam hidup menggelandang, seperti juga banyak pendatang dari daerah. Ia hidup di komunitas Sikh sebelum akhirnya meninggal dunia d RS Sumber Waras, Grogol, pada 7 Desember 2006.