KOMPAS.com — Kepemimpinan Brendan Rodgers di Liverpool mulai goyah. Tersingkirnya "The Reds" dari ajang Piala Liga Inggris setelah takluk dari sang tamu, Swansea City, memperparah performa Liverpool yang sudah jeblok musim ini. Taktik Rodgers pun mulai dipertanyakan.
Pertama kali ditunjuk membesut Liverpool pada musim panas lalu, Rodgers seakan membawa angin segar bagi Liverpool. Klub itu ingin bangkit setelah era Kenny Dalglish hanya mampu menorehkan trofi Piala Liga Inggris. Terlebih lagi, Rodgers membawa taktik dan skema bermain yang sedang digandrungi saat ini, tiki-taka!
Rodgers ingin meneruskan gaya bermain yang sudah digelarnya saat melatih Swansea ke klub yang lebih besar dan memiliki pemain-pemain berkualitas. Banyak yang optimistis gaya umpan satu-dua Rodgers akan makin mulus kalau diterapkan di Liverpool. Ditambah lagi, Rodgers membawa eks andalannya di Swansea, Joe Allen, sebagai "penyambung lidah" di lapangan.
"Tentu pola bermain umpan satu-dua yang akan saya pakai di Liverpool meski saya takkan memaksa para pemain. Saya akan lihat kemampuan mereka. Sejauh ini, para pemain menikmati cara bermain itu dan kami masih butuh waktu lagi," sebut Rodgers di awal eranya bersama "Merseyside Merah".
Pernyataan dari sang manajer diamini bek kiri, Jose Enrique.
"Gaya bermain Rodgers membuatku nyaman. Formasi dan taktiknya sesuai dengan keinginanku," ujar Enrique yang berasal dari tanah leluhur tiki-taka, Spanyol.
Nyatanya, tiga bulan berlalu, Liverpool justru belum menunjukkan tanda-tanda kebangkitan. Di kompetisi Premier League, Liverpool hanya berada di urutan ke-12. Ironis, mantan klub Rodgers, Swansea, saat ini justru berada tepat di atasnya dengan perbedaan satu poin.
Ada yang Salah dengan Rodgers?
Karier Rodgers sebenarnya mencuat musim lalu saat menangani Swansea. Klub berjuluk "The Swans" itu membuat kejutan dengan berani memainkan taktik yang jarang digunakan di Inggris, tiki-taka. Ya, begitulah, banyak orang membicarakan Swansea musim lalu. Bahkan, ada yang membandingkan cara bermain "Sang Angsa" dengan klub yang sudah memainkan tiki-taka sejak lama, Barcelona. Berlebihankah?
Sepintas, gaya bermain Swansea dan Barcelona hampir serupa. Begitu pula dengan jumlah penguasaan bola. Untuk klub yang baru promosi, Swansea masuk 5 besar klub dengan penguasaan bola tertinggi di Premier League musim lalu. Namun, jika dirinci, gaya tiki-taka Swansea dan Barcelona jauh berbeda.
Barcelona mampu mendominasi permainan dari mulai garis pertahanan lawan. Sementara Swansea, lebih dari 60 persen penguasaan bolanya dilakukan di daerah sendiri. Bahkan, Swansea merupakan klub terendah yang mendominasi bola di pertahanan musuh, dibanding 19 kontestan Premier League lain musim lalu.
Namun, semua itu dianggap hal yang wajar untuk klub sekaliber Swansea.
Alhasil, Rodgers cukup yakin punya cerita berbeda saat melatih Liverpool dengan segenap talenta berbakatnya.
Benar saja, seperti data yang diperoleh dari Who Scored, Liverpool saat ini mampu menguasai bola lebih banyak di daerah musuh ketimbang garis pertahanan sendiri. Namun, dari segi penguasaan bola, “The Reds” justru masih kalah bagus dari tiga raksasa lainnya, Arsenal, Manchester United, dan Manchester City.
Faktor Lapangan
Tiki-taka merupakan filosofi permainan sepak bola yang terlihat cukup sederhana, yaitu mengumpan, mengontrol, dan bergerak. Namun, dalam praktiknya, hal-hal mendasar itulah yang sangat sulit dikuasai. Barcelona saja butuh bertahun-tahun untuk membangun para pemain dengan dasar sepak bola benar seperti itu.