Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Elegi Kemegahan Stadion Utama Riau

Kompas.com - 15/07/2012, 13:13 WIB

SENJA mulai menyingsing di langit kota Pekanbaru, Riau. Tepat di jantung kota yang berpenduduk sekitar 900.000 jiwa itu, sebuah lapangan sepak bola bernama Stadion Utama Riau, berdiri megah. Di tengah pohon-pohon dan bebatuan berbalut debu bangunan proyek kompleks Olahraga Universitas Riau, stadion itu masih terlihat sangat indah.

Stadion Utama Riau atau lebih dikenal Main Stadium UNRI itu, pertama kali dibangun pada 2009. Stadion berkapasitas 43.923 penonton tersebut merupakan salah satu stadion terbesar di Asia Tenggara, yang akan digunakan sebagai perhelatan akbar Pekan Olahraga Nasional 2012 dan kualifikasi Piala Asia U-22 yang kini tengah berlangsung.

Kehadiran stadion ini memang seperti pelepas dahaga bagi masyarakat Pekanbaru yang haus akan permainan indah bernama sepak bola. Lihat saja, bagaimana seluruh kursi berwarna-warni dalam stadion diisi oleh penonton ketika laga perdana kualifikasi Piala Asia U-22, antara Indonesia dan Australia berlangsung pada Kamis (5/7/2012).

Nyanyian yel-yel, tepukan tangan, dukungan timnas pun terus menggema di dalam stadion ketika penggawa "Garuda Muda" bertanding. Suasana stadion itu pun bertransformasi laiknya atmosfer lapangan sepak bola di luar negeri. Hal ini menggambarkan, bahwa antusiasme rakyat Indonesia akan sepak bola luar biasa tinggi.

"Indonesia mempunyai suporter luar biasa. Kami tahu hal ini sejak lama, tetapi baru kali ini kami merasakan atmosfer bertandingan dengan lawan yang memiliki dukungan seperti ini," ujar Pelatih tim nasional Jepang U-22, Yushasi Yoshida usai berhadapan dengan Indonesia di Stadion Utama Riau, Kamis (10/7/2012).

Pusaran hitam
Setali tiga uang, kehadiran stadion tersebut juga telah menambah panjang daftar catatan hitam di negeri ini. Kasus dugaan korupsi yang menghinggapi proyek pembangunan stadion itu, jelas membuktikan bahwa entah apa lagi hajat hidup bangsa ini yang tidak disentuh oleh kalangan politik.

Mulai dari persoalan sosial, ekonomi, hukum, hingga agama sudah terjangkiti oleh tangan-tangan kotor politisi. Sangat miris, jika satu-satunya hiburan jutaan rakyat Indonesia, yakni sepakbola juga telah dijarah oleh para oknum tidak bertanggungjawab tersebut.

Alih-alih untuk menghasilkan prestasi, para oknum itu justru memanfaatkan sepak bola untuk mencapai keuntungan pribadi. Muara ulah tak bertanggungjawab itu jelas bahwa masyarakat lah yang pada akhirnya menjadi korban. Sepak bola kemudian menjadi alat politik, bukan sebagai permainan berkelas di dalam lapangan.

Perkiraan jumlah total proyek sebesar Rp 900 miliar stadion tersebut, rasanya tak sebanding jika kita melihat Data Badan Pusat Statistik Provinsi Riau terkait jumlah penduduk miskin. Dari data itu, disebutkan pada Maret 2012, tingkat kemiskinan di Riau mencapai 483 ribu jiwa atau sekitar 8,22 persen. Sementara, di Pekanbaru sendiri, tingkat kemiskinan mencapai 29 ribu jiwa atau 3,36 persen dari total penduduk Pekanbaru.

Belum lagi, jika kita melihat perbandingan dana besar itu dengan kembang-kempisnya pembinaan muda sepak bola Indonesia. Pendapatan dan belanja negara yang harusnya dipakai untuk mengembangkan talenta-talenta emas, justru digerogoti koruptor yang terus tertawa puas.

Pun halnya, dengan polemik tunggakan gaji pemain yang mendera salah satu klub kebanggaan asal kota itu, PSPS Pekanbaru. Molornya manajemen membayar gaji pemain selama lima bulan, berimplikasi ke prestasi klub tersebut. Penurunan peringkat skuad "Asykar Bertuah" pun terjadi, dari menduduki posisi tujuh pada musim 2010, ke-11 (2011) dan ke-13 musim ini.

Mati
Sejumlah fakta itu, semakin membuktikan bahwa bukan rahasia lagi bila sepak bola tidak hanya menjadi permainan indah dalam lapangan. Terlalu banyak intrik, rekayasa dan permainan politik yang membuat sepak bola kita terjun bebas ke jurang hitam. Persoalan krusial ini lah yang terus terjadi.

Pertikaian sejumlah pengurus PSSI dan KPSI yang tiada henti, kesemerawutan kompetisi, hingga praktik suap terus mencederai khitah sepak bola Indonesia. Maka, wajar pula jika hingga saat ini prestasi tak kunjung menghampiri Ibu Pertiwi.

Harusnya mereka sadar, bahwa sepak bola ini adalah milik masyarakat, bukan pengusaha, pengurus, maupun politisi. 240 juta jiwa penduduk Indonesia tidak rela jika ulah para oknum tak bertanggungjawab itu mengorbankan prestasi talenta muda.

Kini, ratapan kekecewaan 23 penggawa Indonesia dan puluhan ribu suporter, setelah gagal lolos ke putaran final Piala Asia memang sedikit menodai catatan awal kemegahan Stadion Utama Riau. Namun, tak salah juga jika harapan masih disematkan kepada ratusan tiang besar dan rumput stadion itu yang akan menjadi saksi bisu perjuangan anak Negeri untuk mencari secercah prestasi.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com