Oleh: Sindhunata
KOMPAS.com - Italia baru, begitulah Joachim Loew menjuluki lawannya malam nanti. Memang di bawah seorang gentleman Italia bernama Cesare Prandelli, ”Squadra Azzurra” sungguh telah berubah. Sekarang mereka bermain dengan penuh petualangan, variasi, dan tanpa takut akan risiko.
Prandelli juga disebut ”telah berhasil membuat kesebelasan dari tumpukan para anarkis”. Dalam Piala Eropa ini, tak ada kesebelasan yang demikian kreatif, cerdik, tak terduga, emosional, dan eksentrik seperti Italia.
Di bawah Prandelli, kesebelasan Italia juga telah menjadi wadah bersatunya pemain-pemain yang mempunyai karakter kuat, khas, dan sulit, seperti enfant terrible Mario Balotelli, si bengal Antonio Cassano, si genius Andrea Pirlo, si anak jalanan Daniele de Rossi, dan si kepala dingin Gianluigi Buffon. Tipe-tipe pemain seperti ini tak ada di kesebelasan Jerman.
Lihatlah, misalnya, perilaku Buffon sebelum adu penalti melawan Inggris. Di perempat final Piala Eropa 2012 itu, ketika wasit melemparkan keping uang, Steven Gerrard kelihatan begitu muram seakan sudah membayangkan Inggris bakal gagal.
Sebaliknya Buffon tampak begitu cerah dan optimistis, kelihatan membuat lelucon lalu tertawa dan memeluk Gerrard seakan hendak mengatakan, amico meo, sahabatku, jangan takut, kamu akan kalah, tetapi dunia tidak akan runtuh karena itu. Buffon sendiri tak tega melihat bagaimana ”lotre neraka” itu berjalan. ”Itu seperti lotre. Masuk atau tidak masuk. Saya tidak dapat melihatnya,” kata kiper Italia itu.
Namun, ketika berdiri di gawang, Buffon seperti raksasa yang menghadang. Ashley Cole gemetar dan tembakannya pun dengan mudah ditangkap Buffon. Betapa Buffon dan Italia begitu lepas dan relaks, sementara seluruh Eropa sedang kaku dan tegang. ”Dalam sepak bola ada sesuatu seperti keadilan Tuhan yang selalu memberikan balasan dan keseimbangan bagi semuanya yang hidup,” kata Buffon.
Buffon dijuluki portierone, artinya bukan sekadar penjaga gawang, melainkan juga portir penjaga pintu. Seperti seorang portir di tempat penginapan bergaya Romawi, Buffon juga suka mengoceh. Namun, dalam ocehannya tampak bahwa sesungguhnya ia adalah seorang patriot Italia. ”Waktu menyanyikan lagu kebangsaan Italia, saya mesti teringat akan dua kakek saya yang gugur dalam Perang Dunia I,” kata Buffon.
Lain dengan Buffon, pahlawan Italia Andrea Pirlo adalah seorang pendiam. Pirlo dikenal amat serius. Apalagi, sekarang di usianya yang ke-33, garis-garis keriput di wajahnya semakin menambah kesan keseriusannya. Pirlo juga manusia yang amat tenang. Ketenangan itu ia perlihatkan di lapangan, di mana ia menjadi regisseur yang amat cerdik dan meyakinkan.
Sebagai regisseur, Pirlo tahu bagaimana mengatur irama permainan teman-temannya. Ia bisa segera mengarahkan mereka untuk bermain defensif, tetapi sewaktu-waktu ia pula yang memelopori Italia untuk merangsek dengan amat ofensif. Passing-passing-nya juga amat tajam dan persis. Ketika melawan Inggris, dalam 129 menit, Pirlo membuat operan 146 kali dan dari 32 umpan panjangnya, 25 kali menyasar tepat di kaki teman yang dituju. Luar biasa.
Pirlo juga mempunyai intuisi tentang keindahan. Ini ia tunjukkan ketika melakukan tendangan penalti yang begitu gemulai ke gawang Inggris yang dijaga Joe Hart. Sejak final Piala Eropa 1976, ketika pemain Cekoslowakia, Antonin Panenka, mengecoh gawang Jerman yang dijaga Sepp Maier, tak ada tendangan penalti yang begitu intuitif dan indah.
”Selamat untuk Pirlo. Sebuah kesebelasan membutuhkan tipe pemain yang dingin dan jernih, yang bisa mengubah penalti menjadi gol, yang tidak bisa diperoleh dengan latihan sekeras apa pun,” kata Pelatih Inggris Roy Hodgson kagum. Pirlo memang tidak berlatih, ia berintuisi dalam bermain bola.
Intuisi itulah yang membuat ia bisa memainkan bola sebagai seni. ”Ia layaknya seniman, seperti Beethoeven atau Mozart,” puji mantan pemain juara dunia Perancis, Christian Karembeu, sewaktu Pirlo dinobatkan sebagai man of the match malam itu. Pirlo tak peduli dengan pelbagai pujian itu. Katanya, ”Yang terpenting untuk kami adalah semifinal melawan Jerman.”
Eksentrik
Selain Buffon dan Pirlo, Italia juga mempunyai Balotelli yang eksentrik. Balotelli adalah orang yang amat spontan. Lebih-lebih pada saat berada dalam tekanan besar, ia bisa melakukan hal-hal yang merugikan dirinya sendiri. Ia sering naif, enggan membuat pertimbangan sebelum ia melakukan sesuatu.
”Saya berharap, ia bisa bertahan dalam segala tekanan itu. Namun, saya tak tahu, mungkin ia akan lepas kendali,” kata Christina Balotelli, adik pemain eksentrik itu, menjelang pertandingan Italia melawan Inggris. Balotelli memang sering merepotkan. Namun, Prandelli tetap memerlukannya. Bagi Prandelli, Balotelli adalah pemain yang strategis untuk sistemnya yang ofensif. Bola-bola manis dari regisseur Pirlo akan sia-sia jika tiada kaki Balotelli yang haus gol itu.
Balotelli, Pirlo, Buffon, masih ada lagi De Rossi dan Cassano, adalah unsur-unsur anarkis dari kesebelasan Italia. Sungguh suatu prestasi bahwa Prandelli bisa menyatukan anarkisme itu dalam sebuah orkestra permainan yang emosional, agresif, kreatif, dan inovatif. Anarkisme demikian tak bisa dipolakan dan sungguh tak bisa diduga oleh lawan. Ketidakterdugaan, petualangan dalam kegembiraan, dan agresivitas menyerang, itulah yang kiranya dikhawatirkan oleh Joachim Loew dan anak-anaknya.
”Kami sadar bahwa Italia sekarang adalah lain daripada Italia 2010. Mereka mengalami perkembangan yang luar biasa,” puji Loew.
Loew sadar, tidaklah mudah melawan Italia walau ia bilang, ”Kami juga tahu, di mana letak kesulitan mereka.”
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.