Dua dasawarsa lebih tanpa gelar, sepak bola Indonesia justru diwarnai ketidakjelasan. Dari format kompetisi yang diubah-ubah tanpa tujuan dan target yang jelas, bahkan kadang terkesan politis, sampai pengurus PSSI yang terus berkonflik. Yang lebih memprihatinkan, konflik di PSSI terkesan tak lepas dari infiltrasi berbagai kepentingan, baik ekonomi maupun politik. Kalau tak ada kepentingan lain selain sepak bola, lalu kenapa dua kubu itu ngotot berkonflik dan terus mempertaruhkan sepak bola Indonesia. Toh, pada akhirnya sepak bola jadi korban konflik itu. Atau, jangan-jangan para aktor konflik itu memang tak peduli soal prestasi sepak bola yang penting kepentingan mereka tercapai? Kalau peduli sepak bola, kenapa terus berkonflik jika konflik itu akhirnya mengorbankan sepak bola?
Aroma kepentingan non-sepak bola ini sebenarnya tercium sejak lama. Ketika Indonesia masuk final Piala AFF 2010, misalnya, banyak pihak termasuk partai politik, saling mengklaim sebagai pihak yang berjasa. Ada yang mengundang tim makan bareng sebelum turnamen usai, entah dengan tujuan apa.
Dua dasawarsa selalu gagal meraih trofi, sudah seharusnya PSSI menginventaris persoalan yang ada, kemudian mencari solusi terbaik. Yang terjadi, justru konflik semakin menajam, bahkan untuk kedua kalinya pula muncul dualisme kompetisi ISL dan IPL.
Jelas konflik tersebut mengorbankan pemain sebagai pelaku utama sepak bola. Apalagi konflik itu juga menyangkut karier pemain, karena ada larangan bermain di timnas dari kompetisi tertentu. Munculnya dualisme kompetisi jelas sekali tak terlalu mengindahkan kepentingan pemain sebagai pelaku utama sepak bola. Masing-masing kubu terkesan memaksakan egoismenya yang tentu penuh dengan kepentingan. Yang terasa pula, kepentingan yang membakar konflik sepak bola bukan untuk mengangkat sepak bola itu, tapi terkesan ingin menguasai sepak bola kemudian memanfaatkannya demi kepentingan mereka.
Jika kompetisi adalah mekanisme terbaik untuk mencetak prestasi sepak bola nasional, maka kompetisi itu harus disehatkan, dibangun dengan konsep terbaik, dijaga dengan aturan yang baik pula secara fair dan demi kepentingan sepak bola. Jika kompetisinya saja produk konflik, maka secara teoritis sulit diharapkan akan melahirkan prestasi yang baik.
Rasanya, sudah cukup tamparan dari negeri jiran itu. Kekalahan dari Brunei seharusnya disikapi dengan produktif. Segera melepaskan semua kepentingan, membangun persatuan, kemudian membenahi sepak bola yang sedang terseok-seok ini. Tapi, mungkinkah kondisi seperti ini terjadi?
Atau, konflik sepak bola akan terus dijadikan tradisi, menciptakan tokoh-tokoh yang pandai bicara berbusa-busa bak pahlawan kemudian akhirnya tak berbuat apa-apa? Sampai kapan pemain sepak bola terus menjadi korban konflik? Atau, kita akan terus menerima tamparan demi tamparan?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.