Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

PSSI, KPSI dan Prestasi Timnas yang Mati Suri

Kompas.com - 01/03/2012, 16:51 WIB

Masyarakat mungkin sudah bosan dengan kosakata "rekonsiliasi" yang sering dikemukakan di sejumlah media. Rekonsiliasi bisa menjadi salah satu jalan untuk memperbaiki kompetisi yang merupakan jantung dari pembentukan sebuah tim nasional. Para pemain yang mengisi komposisi timnas tentunya pemain terpilih berasal dari klub-klub yang tampil di kompetisi nasional.

Namun, faktanya kompetisi kasta tertinggi di Indonesia yang kembali pecah menjadi dua kelompok, yakni Indonesia Super League (ISL) yang ditangani PT Liga Indonesia dan Indonesian Premier League (IPL) yang dikelola PT LPIS membuat hancur prestasi sepak bola nasional. Pembelaan maupun alasan terus dikumandangkan oleh dua pengurus organisasi tersebut jika timnas meraih kegagalan. Sebaliknya, jika berurusan dengan kompetisi, sudah pasti jawabannya adalah KLB harga mati.

"Saya bukan cari-cari alasan. Ini kita kalah karena wasit. Ada pertarungan antara Bahrain dan Qatar yang lagi main di Iran. Waktu kita duduk sama-sama (di tribun stadion), saya dengar cucu raja bilang 'Kita (Bahrain) akan menang 8-0'. Saya jadi bingung, maksudnya apa?" kata koordinator timnas, Bob Hippy menanggapi kekalahan dari Bahrain.

Harusnya, PSSI bisa meniru Jepang dengan kompetisi J-League-nya. Bahkan, jika ditarik ke belakang, negeri Sakura itu belajar dari kompetisi Galatama milik Indonesia pada era 1970-an. Sejumlah inovasi yang dibentuk akhirnya mampu membangun pondasi yang kuat dalam kompetisi J-League.

Dengan format itu, sejumlah peserta kompetisi pun bertranformasi menjadi klub yang disegani di kawasan Asia dan prestasi tim nasionalnya bisa dibuktikan dengan keikutsertaan di putaran final Piala Dunia. Bahkan, mereka sukses mencetak bintang seperti Hidetoshi Nakata, Shunsuke Nakamura, dan Shinji Kagawa atau sejumlah pemain yang bermain di liga-liga Eropa.

Namun, kesuksesan itu berbanding terbalik dengan apa yang dicapai Indonesia. Sejak Aji Santoso, Robby Darwis, Edy Harto dan kawan-kawan merebut medali emas Sea Games 1991, sepak bola Indonesia justru tenggelam dalam sejarah kelam. Negara berpenduduk 240 juta yang sebagian besar pecinta sepak bola ini harus gigit jari melihat prestasi timnas yang mati suri.


Sampai kapan?

Pertanyaannya sekarang adalah sampai kapan mati suri berlangsung? Apakah kita harus terus hanya bermimpi pemain nasional meraih prestasi? Ataukah kita hanya mau membanggakan prestasi medali emas Sea Games 1991 yang telah berlalu hampir 20 tahun itu? PSSI harus membuka mata, telinga dan hati bahwa ratusan juta rakyat Indonesia ingin prestasi dan bukan hanya sekedar gengsi demi kepentingan pribadi.

Legenda sepak bola Indonesia, Andjas Asmara di Jakarta, pertengahan Januari lalu, pernah mengatakan, masyarakat kini sudah bosan dengan konflik yang terjadi di induk sepak bola tertinggi di Indonesia ini. Menurutnya, yang dibutuhkan sepak bola Indonesia saat ini adalah kesatuan demi membangkitkan kejayaan Indonesia di mata internasional.

"Mereka tidak sayang sama pemain. Mau dibawa ke mana sepak bola kita ini. Rakyat sudah capai, sudah bosan dengan yang model-model seperti ini. Sekarang kebesaran kita di level Asia sirna entah ke mana. Belum lagi banyak benar masalah ini dan itu. Kenapa tidak konsentrasi ke pembinaan karena itu yang paling penting. Rakyat itu menunggu prestasi," ujar Andjas.

Kepekaan sebagai warga negara yang ingin timnasnya berprestasi tampaknya harus ditanamkan kepada sejumlah pengurus PSSI maupun KPSI. Sudah habis kata untuk melontarkan kritik terhadap kegagalan mereka membangun sepak bola nasional. Kerendahan diri dan jiwa kepahlawanan dari keduanya sangat dinantikan.

Ingin Indonesia berprestasi atau tetap "kekeuh" dengan rangkaian lelucon yang tiada henti?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com