JAKARTA, KOMPAS.com - Kontroversi perihal bergabungnya klub-klub Liga Primer Indonesia (LPI) dengan Indonesia Super League (ISL) dalam satu wadah kompetisi profesional terus berlanjut. Jakarta yang memiliki lebih dari satu klub di dalamnya pun harus terpecah menjadi beberapa kubu karena hal tersebut.
Saat ini, setidaknya ada empat klub profesional yang bermarkas di Jakarta dan sedang mempersiapkan diri untuk mengikuti verifikasi PSSI agar dapat mengikuti kompetisi profesional yang direncanakan bergulir pada 8 Oktober mendatang. Klub-klub itu adalah Persija Jakarta (ISL), Persitara Jakarta Utara (Divisi Utama) serta Jakarta FC dan Batavia Union (LPI). Seperti layaknya tim-tim lain yang tinggal dalam satu kota yang sama, friksi di antaranya jelas tak mudah dihindari.
Perseteruan dan kedengkian antara kubu Persija dan Persitara bahkan telah tumbuh jauh sebelum terbentuknya LPI. Kedua tim tersebut tak pernah mendapat kesetaraan dalam hal penerimaan dana APBD. Persija yang menjadi "anak emas", terlebih pada masa 10 tahun pemerintahan Gubernur Sutiyoso (1997-2002 dan 2002-2007), selalu menjadi prioritas penyaluran uang rakyat tersebut.
Suatu waktu, Persija pernah mendapat dana APBD sebesar Rp 22 miliar, sementara di saat yang sama Persitara "hanya" mengantongi Rp 3 miliar, nominal yang tujuh kali lebih kecil. Hal ini membuat Persitara kelimpungan untuk bisa tetap "hidup" dan ikut berkompetisi selama ini, sehingga prestasinya pun kerap naik turun. Keikutsertaan mereka selama dua musim (2008/2009 dan 2009/2010) di ISL menjadi prestasi terbaik tim kebanggan masyarakat Jakarta Utara itu dalam 15 tahun terakhir.
Saat ini, sebanyak lebih dari 70 klub sepak bola di Indonesia telah mendaftarkan diri untuk diverifikasi oleh PSSI. Pada 25 Agustus mendatang, PSSI akan mengumumkan nama-nama klub yang lolos verifikasi dan berhasil memenuhi lima syarat yang telah diajukan sebelumnya oleh AFC, yaitu aspek legal, finansial, infrastruktur, sumber daya manusia dan sporting. Setelah itu, kompetisi baru pun direncanakan telah bergulir pada 8 Oktober 2011, atau enam hari sebelum tenggat waktu yang diberikan oleh AFC.
Masalah muncul ketika banyak suara sumbang yang muncul dari klub-klub ISL akibat rencana bergabungnya klub LPI dalam satu wadah kompetisi yang sama nantinya. Mereka menganggap hal itu tak adil karena klub-klub LPI belum lama berdiri dan tak mengikuti jenjang kompetisi cukup panjang yang telah diikuti klub ISL lain untuk sampai di kasta tertinggi sepak bola Indonesia tersebut. Salah satu yang dengan terbuka menyatakan ketidaksetujuannya adalah Ferry Paulus, Ketua Umum Persija.
"Setiap klub yang berada pada level kompetisi tertinggi (ISL) itu bisa mencapai ke sana karena melalui tahapan-tahapan verifikasi, kemudian naik secara berjenjang dari Divisi III, II, dan I, baru kemudian ke Divisi Utama dan Liga Super sebagai kasta tertinggi. Jadi, ada proses promosi dan degradasinya," ujar Ferry Paulus di Jakarta, Jumat (12/8/2011).
CEO Jakarta FC, Hadi Basalamah, menolak keras pemikiran tersebut. Ia mengatakan bahwa klub-klub amatir yang bermain di Divisi III, II dan I dahulu seharusnya tak bisa promosi begitu saja ke Divisi Utama dan ISL yang dianggap berisi klub-klub profesional saat itu. Menurutnya, kompetisi klub sepak bola profesional dan amatir tidak bisa digabungkan dalam satu jenjang vertikal yang sama.
"Itu keliru. (Jenjang kompetisi) dari Divisi III, naik ke II, I, lalu Divisi Utama adalah sebuah kekeliruan dari sistem yang dianut saat itu, karena tak ada klub amatir yang (setelah promosi ke Divisi Utama) tiba-tiba berubah menjadi profesional," ujar Basalamah saat diwawancarai eksklusif oleh Kompas.com pada Jumat (19/8/2011).
Basalamah juga mengatakan bahwa seluruh klub sepak bola di Indonesia saat ini sedang memulai kiprahnya dari titik nol kembali. Oleh karena itu, tiap klub yang ada berhak untuk mendaftarkan diri untuk diverifikasi oleh PSSI. "Masalahnya bisa engga mereka memenuhi lima persyaratan yang ada dan masuk ke level 1 dan 2 kompetisi profesional nantinya," ujarnya.
Manajer Operasional Batavia Union, Ridjalai, juga berpikiran sama dengan Basalamah. Saat ditemui Kompas.com di kantornya (19/8/2011), ia mengatakan, "Bila banyak orang yang bilang engga adil (bila klub LPI ikut dalam kompetisi), engga adil dari segi apa? Jenjang kompetisi yang ada tahun lalu pun tidak benar. Klub daerah bisa naik dari Divisi III, II, I, lalu masuk menjadi profesional (di Divisi Utama), itu kan tidak benar."
"Kompetisi yang ideal adalah yang diikuti oleh klub profesional saja tanpa menggunakan dana APBD," lanjut Ridjalai kembali.
Dunia persepakbolaan Indonesia bisa dikatakan sedang mengalami revolusi, dan jelas itu membutuhkan waktu yang tak singkat. Oleh karena itu, perubahan harus dilakukan secara bertahap dan tak terburu-buru, sehingga hasil maksimal bisa diraih nantinya.
Bahkan Ridjalai mengatakan bahwa bila perlu, Indonesia bisa saja melanggar tenggat waktu yang diberikan AFC agar dapat mempersiapkan sebuah kompetisi sepak bola yang lebih matang dan profesional. Risiko mendapat hukuman dari AFC tidak boleh mengirimkan wakil untuk berlaga di kompetisi level Asia selama tiga tahun pun harus dihadapi bila itu benar terjadi.
"Kalau saya pribadi sih lebih baik kita menunggu agar bisa menjadi lebih matang lagi. Bila nanti hukuman dijatuhkan, saya yakin kita bisa melobi (AFC) untuk mengurangi waktu hukuman tersebut," ujar Ridjalai.
Untuk hal ini, Ridjalai dan Basalamah memiliki pikiran yang berbeda. "Saya rasa kita bisa (memenuhi tenggat waktu yang diberikan AFC). Walaupun nantinya hanya ada sedikit klub (yang lolos verifikasi), kita lanjut berjalan saja. Memang harus begitu. Dahulu Jepang juga mengalami hal yang sama, ketika pertama kali mendirikan kompetisi profesional, hanya ada delapan klub yang berpartisipasi," kata Basalamah.
Walau selama ini banyak friksi yang membumbui perjalanan klub-klub asal ibukota negara kita tersebut, diharapkan mereka dapat bekerja sama menyongsong perubahan dunia sepak bola kita ke arah yang lebih baik. Permainan sepak bola yang sehat akan melahirkan persaingan serta atmosfer pertandingan yang sehat pula. Dengan begitu, tingkat kerusuhan antarsuporter pun diharapkan dapat diminimalisasi.
"Suporter itu melakukan tawuran bila terjadi hal yang tidak benar di dalam pertandingan kompetisi, itu lah yang menyebabkan kemarahan mereka muncul. Mereka melihat banyak pelanggaran yang ditolerir atau diatur oleh wasit. Ketika permainan berlangsung tidak jujur atau direkayasa, maka tawuran tak dapat dihindarkan," pungkas Basalamah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.