SURABAYA, KOMPAS -
Ratusan suporter Persebaya ikut mengawal kepergian Rusdy hingga ke tempat peristirahatan terakhir. Turut pula mantan pemain Persebaya, seperti Samsul Arifin, Subangkit, Yopie Saununu, Jaya Hartono, Ferril Raymond Hattu, Mursyid Effendi, dan Soebodro.
Menurut Soebodro, Rusdy sebagai sosok yang berpendirian sangat kuat. ”Jika menurut dia bagus, dia akan pegang betul. Sosoknya juga tenang, termasuk saat harus mengambil keputusan,” kata pemain Persebaya era tahun 1970-an itu.
Bagi Irfan, anak sulung Rusdy, meski ayahnya pemain dan pelatih sepak bola, ketika berada di rumah, almarhum tidak pernah membahas soal sepak bola.
”Tidak ada keharusan ikut jejak ayah sebagai pemain sepak bola. Kami bebas memilih cabang olahraga yang diminati,” kata sulung dari tiga bersaudara itu.
Sebagai pelatih, kata mantan anak asuhnya di Persebaya Yusuf Ekodono, saat melayat di rumah duka di Jalan Rungkut Mejoyo Selatan, almarhum sangat obyektif. ”Dia benar-benar pas kalau memilih orang, baik soal posisi maupun kemampuan,” ujarnya.
Paling berkesan bagi Yusuf Ekodono selama dilatih Rusdy, dalam setiap bertanding Rusdy selalu menanamkan prinsip tidak mudah menyerah. Walau waktu tinggal sedetik, peluang itu masih terbuka. ”Pemain selalu ditekankan jangan berpikir kalah dalam pertandingan,” ujarnya.
Cholid Ghoromah, tokoh sepak bola Surabaya yang lebih banyak bekerja dari belakang layar, menyebut almarhum sebagai pekerja keras. ”Dia itu tidak pernah bekerja setengah-setengah. Sebagai pemain atau pelatih, Rusdy selalu bekerja serius dan sungguh-sungguh. Itu yang membedakan dia dengan pemain dan pelatih lainnya,” ungkap Cholid.
”Rusdy juga sangat pandai bergaul dan rendah hati. Dia hampir tidak mempunyai musuh sama sekali,” ujarnya.
Almarhum menunjukkan sikap pekerja keras ini saat diminta menjadi salah satu kolumnis sepak bola tetap di Harian Surya di Surabaya mulai tahun 1989.
Meskipun belum pernah menekuni karier jurnalistik, almarhum memperlihatkan niat dan kemauan tinggi untuk bisa menjadi kolumnis sepak bola andalan di Jatim. Setahun kemudian, tahun 1990, Harian Surya mengirimnya meliput langsung