Setelah cukup matang, ia dipromosikan ke tim senior oleh pelatih saat itu, Frank Rijkaard. Di awal karier profesionalnya, ia banyak dibimbing bintang dunia macam Ronaldinho, Samuel Eto’o, dan Ludovic Giuly. Rijkaard juga mengerti dan menempatkan Messi di posisi favoritnya, penyerang sayap. Di sana, ia bebas berkreasi dalam skema permainan 4-3-3. Tusukan dan umpan satu-dua yang ia lakukan sering mengecoh dan membuat bingung setiap barisan pemain belakang lawan yang dihadapi.
Bila pertahanan lawan tertutup rapat, ia bisa menyusun serangan secara perlahan dari bawah dengan raja passing semacam Xavi dan Andres Iniesta. Dengan permainan passing "tika-taka", Messi dan Barca sukses mendikte permainan lawannya. Bisa dikatakan, Messi adalah bakat yang terjaga dengan baik di lingkungan yang tepat sehingga dapat tumbuh secara maksimal.
Hal inilah yang menjadi penyebab tumpulnya Messi saat membela negaranya di pertandingan internasional. Di tim Argentina, tidak ada Xavi-Iniesta yang akan bekerja sama melakukan umpan satu-dua atau memberikan umpan terobosan yang bisa merobek lini belakang lawan kepada Messi dengan efektif. Di tim Argentina, tidak ada pemain yang benar-benar bisa menjalankan permainan passing ala "tiki-taka" untuk secara perlahan meruntuhkan tembok pertahanan lawan.
Messi dianggap dewa dan bisa membawa timnya sendirian menuju kemenangan. Padahal, Messi tidak bisa bekerja sendirian. Ia butuh teman-teman yang tepat untuk mengangkat level permainannya. Boleh disebut, Messi membutuhkan tim, bukan tim yang membutuhkan Messi.
Di satu kesempatan, legenda sepak bola Real Madrid, Alfredo di Stefano, mengatakan, "Pemain tak bisa memenangi pertandingan sendirian. Mereka butuh rekan-rekan setim. Lionel Messi tampil hebat. Dia bermain baik dan menciptakan tontonan dengan menarik dari gol-gol yang dicetaknya. Dia memiliki kualitas dan kemampuan hebat. Namun yang terbaik dalam sepak bola adalah tim. Pemain tak mungkin menang sendirian. Sepak bola bukan tinju atau tenis ketika seorang pemain bisa menentukan kemenangannya."
Pada Piala Dunia 2010 lalu, pelatih Argentina saat itu, Maradona, memberikan kebebasan pada Messi untuk berkreasi di lapangan. Seluruh permainan berpusat dan bergantung pada Messi. Hasilnya Messi tampil standar, bila tidak bisa dibilang buruk, yang berakibat pada jatuhnya performa tim secara keseluruhan.
Seiring kegagalan Argentina di Piala Dunia, jabatan pelatih pun berganti diserahkan kepada Sergio Batista. Sekarang, di Copa America 2011, Batista hampir saja mengulangi kesalahan sama yang dilakukan Maradona. Di dua pertandingan awal, Messi dipasangkan menjadi tridente bersama Carlos Tevez di sisi kiri dan Ezequiel Lavezzi di sisi kanan. Messi diharapkan dapat menusuk dari tengah dan menjadi dirigen penyerangan seperti yang bisa ia perlihatkan bersama Barca dengan David Villa di kiri dan Pedro di kanan.
Sayangnya, hal itu tidak berjalan lancar karena Tevez dan Lavezzi melakukan penyerangan secara sporadis dan tak terarah. Alih-alih membangun serangan dengan perlahan melalui operan-operan cantik, keduanya malah sering melakukan tusukan dan tembakan jarak jauh yang sama sekali tak efektif. Bola malah sering terebut ketika berada di kaki mereka dan menghasilkan counter-attack berbahaya bagi Argentina. Messi? Hanya dua tembakan yang bisa ia hasilkan dari dua pertandingan itu.
Setelah pertandingan pertama, Batista mengatakan, "Sangat sulit untuk bisa bermain seperti Barcelona. Benar kami bermain terlalu terburu-buru, permainan vertikal yang tidak kami inginkan. Ini harus berubah di pertandingan berikutnya."
Di pertandingan ketiga, Batista merombak pola penyerangan timnya secara keseluruhan. Messi agak diturunkan ke tengah untuk menyusun serangan perlahan bersama Sergio Aguero di sayap kiri dan Angel di Maria yang terus bergerak. Gonzalo Higuain dijadikan targetman dan Fernando Gago masuk menggantikan tempat Ever Banega. Hasilnya, Argentina menang telak 3-0 dengan dua gol di antaranya terjadi berkat dua assist dari Messi. Siulan pun berubah menjadi pujian.
Di sini, terbukti sekali lagi bahwa Messi butuh tim dan posisi yang tepat untuk memaksimalkan potensi dalam dirinya. Kesalahan penempatan posisi atau pemilihan rekan setim niscaya dapat mengubur sinar terang Messi. Ia jelas bukan Maradona, yang bisa meraih langit hanya dengan mengandalkan dirinya sendiri. Sekali lagi, Messi butuh tim yang tepat, bukan tim yang membutuhkan Messi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.