oleh Budiarto Shambazy
Komite Normalisasi tetap melarang Arifin Panigoro, George Toisutta, dan Nirwan D Bakrie sebagai calon ketua umum dan wakil ketua umum PSSI. Sejumlah calon anggota Komite Eksekutif juga digugurkan. Jika disimpulkan, semua larangan itu diputuskan berdasarkan dua kata kunci, "tidak kredibel".
Pertanyaannya, siapakah yang "kredibel" untuk menjadi ketum, waketum, dan anggota Komite Eksekutif PSSI? Kita menghabiskan waktu setahun untuk mereformasi sepak bola Indonesia.
Pemerintah melalui Menteri Pemuda dan Olahraga Andi A Mallarangeng sudah melakukan intervensi—hal yang dilarang oleh FIFA. KN sudah menjalankan tugas dengan mengambil keputusan melalui voting.
Terdapat kesan, KN menjadi instrumen yang lebih bersifat mencegah ketimbang membuka demokrasi. Akan terjadi debat lagi yang memperpanjang kisah sedih sepak bola.
Mengapa reformasi setiap masalah di negara ini acap kali berjalan gonjang-ganjing alias kurang mulus? Kelompok 78, mayoritas pemilik suara yang akan memilih ketum PSSI, pasti akan menentang keputusan kontroversial KN ini. Merekalah pemangku-pemangku kepentingan utama sepak bola karena terlibat dalam kegiatan sehari-hari pengelolaan kompetisi dan pembinaan yang tak mudah. Publik sudah mengetahui, terdapat perpecahan di dalam KN.
Sumber perpecahan adalah apakah KN harus mematuhi surat FIFA yang melarang ketiga nama tersebut ikut pemilihan. Ada juga debat tentang kelayakan KN melakukan verifikasi atau tidak.
Lalu, apa sesungguhnya kriteria "kredibel" untuk para calon ketum, waketum, dan anggota Komite Eksekutif? Itu sebabnya, banyak kalangan bingung mengapa KN memperlakukan surat FIFA tentang larangan itu seperti "sabda baginda". Lagi pula keputusan FIFA bukanlah harga mati alias negotiable.
Betul ada aturan kalau yang diputuskan FIFA tak diikuti, keanggotaan Indonesia di organisasi internasional itu dibekukan. Ancaman itulah yang selama ini dijadikan senjata pamungkas oleh sebagian personel pengurus PSSI. Seolah pengurus FIFA di Zurich, Swiss, adalah otoritas sepak bola dengan kekuasaan absolut. Lalu diumbar, sesuai dengan Statuta FIFA, jika pemerintah mencampuri urusan sepak bola, keanggotaan negara itu di FIFA akan dibekukan juga.
Bukti menunjukkan lain. Ketika Menpora membekukan kepengurusan PSSI pimpinan Nurdin Halid, yang jelas-jelas merupakan intervensi pemerintah, toh keanggotaan Indonesia di FIFA tak dibekukan.
Lebih kocak lagi ketika PSSI menelikung Statuta FIFA tentang syarat calon ketum tidak boleh mantan napi dalam kongres tahun 2009 untuk meloloskan Nurdin Halid, FIFA bungkam seribu bahasa. Alhasil, FIFA dan PSSI menjadi organisasi yang tidak mampu menegakkan aturan yang dibuat sendiri. Larangan terhadap Arifin, George, dan Nirwan itu ngawur.
Ketiga calon ketum PSSI ini jelas memenuhi syarat yang ditetapkan. Tak pantas mereka disamakan dengan Nurdin Halid yang tercoret karena syarat napi atau bekas napi. FIFA melanggar pula asas demokrasi dan hak asasi dalam pemilihan ini.
Setiap warga Indonesia mempunyai hak dipilih dan bukan urusan FIFA menetapkan larangan yang bertentangan dengan kedaulatan wilayah, demokrasi, serta kemerdekaan bangsa dan negara ini. Oleh karena itu, saya bolak-balik mengatakan dengan mengutip kalimat terkenal Bung Karno, "Go to hell with FIFA."
Mereka tidak mengerti ihwal terjadinya karut-marut persepakbolaan kita dan mengambil keputusan-keputusan kontroversial hanya berdasarkan informasi mentah. Informasi itulah yang dengan berlelah-lelah dibawa tokoh-tokoh sepak bola kita yang terbang ribuan kilometer ke markas besar FIFA di Zurich.
Lalu, setelah bertemu hanya beberapa jam dengan pengurus FIFA, mereka kembali ke Indonesia dan dengan bangga menyampaikan keputusan-keputusan ngawur FIFA. Apa FIFA pernah berupaya, misalnya, mengirimkan tim untuk mempelajari kisruh sejak Kongres Nasional Sepak Bola di Malang, Maret 2010?
Atau, setidaknya meminta bantuan pengurus AFC, yang menaungi PSSI di Asia, untuk sungguh-sungguh mempelajari duduk perkara krisis persepakbolaan kita? FIFA semestinya mau serius mempelajari kondisi sosiologis kita.
Setidaknya Indonesia negara berpenduduk terbesar keempat di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat. India dan Amerika Serikat bukanlah "negara sepak bola" sehingga Indonesia sesungguhnya pasar kedua penonton terbesar di dunia dengan bilangan jauh melampaui negara-negar di Eropa.
Indonesia memiliki jumlah klub dan pemain terbesar di Asia Tenggara dan, jangan-jangan, juga di Asia Pasifik. Peringkat FIFA kita memang rendah, tetapi pamor kita pernah cukup tinggi karena merebut medali perunggu Asian Games 1958 serta medali emas SEA Games 1987 dan 1991.
Pada zaman Bung Karno dan Pak Harto, tim nasional kita beberapa kali nyaris lolos ke ajang Piala Dunia. Arifin dan Nirwan sosok yang membaktikan diri untuk pembinaan dan kompetisi. Arifin melancarkan reformasi lengkap dengan LPI sebagai kompetisi yang menjunjung asas fair play.
Nirwan sudah lama mengirimkan sejumlah tim ke mancanegara untuk mendukung prestasi timnas. Bisa dibayangkan betapa ruginya kalau kedua tokoh ini akhirnya merasa upaya mereka sia-sia karena larangan ngawur FIFA.
Namun, kenyataan yang harus diterima juga, tidak tertutup kemungkinan politisi yang akan memimpin PSSI. Tidak apa-apa juga karena faktanya sepak bola merupakan pintu masuk untuk merebut suara di Pilpres/Pemilu 2014. Sekali lagi, setiap kali bangsa ini melancarkan reformasi di bidang apa pun, yang kerap terjadi justru deformasi alias hilangnya bentuk atau rencana awal. ***
*) Budiarto Shambazy, wartawan senior KOMPAS
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.