KOMPAS.com — Embusan angin yang dingin terasa seperti menusuk kulit. Namun, sekumpulan anak-anak berusia sekitar 12 tahun tetap tampak ceria dan semangat bermain bola di lapangan rumput yang rata dan empuk. Mereka menuruti semua instruksi yang diberikan pelatihnya yang berdiri dan berteriak serta mengawasi mereka dari pinggir lapangan.
Setelah gim selesai, semua anak diminta berkumpul. Pelatih kemudian berbicara kepada semua pemain, memberikan evaluasi dari latihan yang baru mereka selesaikan. Itulah suasana yang terekam di salah satu lapangan kompleks Akademi Leicester City, Kamis (14/4/2011).
Selain anak-anak berusia 12 tahun, di akademi ini juga dilatih anak-anak tingkatan usia di bawah 16 tahun dan 18 tahun. Di Inggris pada khususnya, atau di beberapa negara pada umumnya, akademi sepak bola ibarat sebuah simbiosis mutualisme. Bagi anak-anak, akademi sepak bola merupakan jalur untuk menjadi pemain profesional. Sementara bagi akademi, pelatihan kepada mereka berarti sebuah investasi untuk mendapatkan sumber dan suplai pemain tim utama klub di kemudian hari.
Ironisnya, kondisi ini yang tidak terjadi di Indonesia. Semua klub yang ada saat ini tidak memiliki akademi sebagai tulang punggung penghasil pemain-pemain hebat. Sebaliknya, akademi atau sekolah sepak bola tidak punya wadah yang nantinya bisa menampung pemain-pemain yang dihasilkan.
"Mencetak pemain yang hebat tidak mudah dan perlu proses yang panjang. Akademi menjadi wadah untuk mencapai tujuan itu dengan membina pemain-pemain belia dalam berbagai tingkatan umur," kata Manajer Akademi Leicester City Jon Rudkin saat menerima tiga pemain Akademi Sepak Bola Indonesia (IFA) yang akan mengikuti latihan dan seleksi di Akademi Leicester City selama satu bulan.
Walau Leicester City bukan termasuk klub raksasa di Inggris, mereka memiliki fasilitas akademi yang mengagumkan. Di akademi yang dibangun di atas tanah seluas sekitar 10 hektar itu ada lima lapangan luar ruangan dan dua lapangan dalam ruangan.
Di akademi ini juga terdapat fasilitas ruang fitness, perawatan, ruang makan pemain, laboratorium untuk memantau kondisi pemain, dan beberapa fasilitas pendukung lainnya.
Bagi tiga pemain IFA, yakni Rico Adriyanta, Maldini Pali, dan Yogi Rahadian, kesempatan berlatih di Akademi Leicester akan menjadi pengalaman yang berharga. Sejak tiba di Leicester, Inggris, 12 April 2011, ketiganya sudah diperlihatkan fasilitas dan sistem pelatihan yang ada di Akademi Leicester.
Mereka juga diberi pengalaman dengan menyaksikan langsung pertandingan tim utama Leicester City melawan Crystal Palace pada laga Liga Inggris Divisi Championship di Stadion Walkers. Dengan menyaksikan laga ini, mereka bisa merasakan atmosfer yang ada di dalam stadion saat pertandingan.
Hari berikutnya, mereka diberi kesempatan menyesuaikan diri dengan suhu udara Inggris yang sekitar 8-12 derajat celsius. Bagi mereka, ini perjuangan berat karena mereka juga harus menjaga stamina untuk menjalani program latihan fisik di lapangan dalam sebulan ke depan.
Pada Kamis kemarin untuk pertama kali mereka latihan bersama dengan tim Akademi Leicester di bawah usia 16 tahun. Selain latihan passing, mereka juga diajari teknik drible hingga taktik dan strategi bermain. Menurut Asisten Pelatih IFA, yang mendampingi ketiga pemain tersebut, Rasiman, materi latihan yang diberikan sebenarnya hampir sama dengan pola latihan di IFA. Namun, di sini pola latihannya lebih bervariasi.
Selama latihan, mereka dilatih bermain dalam lapangan kecil, bergerak dalam area yang dibatasi sambil membawa bola, juga menendang bola. Para pemain juga dilatih reaksi dan kecepatan.
Disiplin
Di luar lapangan, pelatih di Akademi Leicester juga mengajarkan pemain soal kedisiplinan yang tinggi dan penghormatan kepada para pelatihnya serta penanaman kekompakan di antara pemain. Hal-hal kecil terlihat dari keharusan pemain menaruh alat-alat makanan di tempat yang sudah disediakan setelah makan siang.
"Saya berharap mereka bisa menikmati suasana latihan di sini. Banyak orang sulit untuk mendapatkan kesempatan. Karena itu, peluang ini jangan disia-siakan. Mereka sebaiknya jangan berpikir hasil akhirnya, tetapi belajarlah yang banyak. Dengan terus mengasah kemampuan, mereka bisa didorong dan akan lebih siap menjadi pemain profesional," kata Rudkin.
Ketiga pemain yang berada di Leicester ini merupakan pemain dengan peringkat terbaik dalam penilaian tim pelatih IFA. Mereka direkrut sejak Desember 2009. Bersama mereka juga ada sekitar 45 pemain lainnya yang berasal dari beberapa sekolah sepak bola, baik di Jawa maupun luar Jawa. IFA merupakan akademi yang membina pemain usia muda. IFA berada di bawah naungan PSSI.
Selain mengirim pemain ke Leicester, IFA juga menjajaki kemungkinan untuk mengirim pemain untuk mengikuti seleksi di Akademi Manchester United dan Chelsea. Tahun ini rencananya IFA mengirim Hanif Syahbandi untuk mengikuti seleksi di Akademi Stoke City U-14. (Gatot Widakdo dari Leicester, Inggris)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.