Dari sisi kelembagaan, PSSI saat ini bisa dikatakan berdiri di atas fondasi rapuh terkait status Nurdin yang masuk-keluar penjara. Nurdin dipilih menjadi Ketua Umum PSSI 2003-2007 pada Oktober 2003. Jabatan itu diperpanjang untuk periode kedua kali (2007-2011) pada musyawarah nasional luar biasa di Makassar, April 2007.
Dalam periode kedua kepengurusan Nurdin, PSSI berurusan dengan FIFA yang setahun lebih ”menunda pengakuan atas keabsahan Nurdin”, seperti rilis di situs resminya per 29 Oktober 2007. Nama ”Nurdin Halid” sempat lenyap dari daftar pengurus PSSI di situs FIFA. Baru pada 6 Maret 2009 FIFA mengeluarkan surat pengakuan atas kepemimpinan Nurdin.
Bukan hanya Nurdin yang bermasalah. Komisi Pemberantasan Korupsi menahan Bendahara PSSI Hamka Yandhu sebagai tersangka kasus dugaan suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Polisi juga menahan anggota Komite Eksekutif PSSI, Joseph Refo, karena membunuh istrinya.
”PSSI saat ini telah kehilangan trust (kepercayaan) dari masyarakat. Selain karena figur kepemimpinan di PSSI yang sulit diterima masyarakat, sudah lama tidak ada prestasi tim nasional,” kata Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden yang pernah aktif mengurus klub Makassar Utama dan PSM Makassar.
Ketiadaan prestasi timnas juga terkait kualitas kompetisi. Kompetisi berjalan mulai dari Liga Super hingga strata bawahnya, Divisi Utama, Divisi I, Divisi II, dan Divisi III. Akan tetapi, banyak kalangan mempertanyakan kualitasnya. Ketua Pengurus Cabang PSSI Bojonegoro Taufik Riesnendar menilai, selama ini pengurus PSSI belum kompeten dalam mengelola kompetisi.
Iklim kompetisi kental dengan nuansa lobi dan konflik kepentingan internal pengurus PSSI. ”Seharusnya itu bagian introspeksi dan evaluasi total PSSI jika ingin sepak bola di Indonesia maju,” katanya. Salah satu contoh menonjol kentalnya nuansa konflik kepentingan di kompetisi adalah kasus laga Persik Kediri versus Persebaya Surabaya pada musim 2009/2010.
Lewat serangkaian penjungkirbalikan aturan dan kolusi banyak kalangan, kasus tersebut dibaca publik sebagai upaya menyelamatkan Pelita Jaya, klub milik keluarga Bakrie, dari ancaman degradasi. Kecewa dengan iklim kompetisi PSSI yang sudah tidak sehat, Persebaya bersama Persibo Bojonegoro, Persema Malang, dan PSM Makassar menyeberang ke Liga Primer Indonesia yang digagas Arifin Panigoro.
Menurut mantan pemain timnas yang juga Ketua II Pengcab PSSI Surabaya, Ferril Raymond Hattu, PSSI gagal menyelenggarakan kompetisi yang sehat. Desakan perombakan di PSSI, kata Ferril, bukti masyarakat ingin kompetisi yang lebih baik.
Coba buktikan
Puncak ketidakpercayaan publik sepak bola kepada PSSI meletus lewat gelombang unjuk rasa serentak di berbagai penjuru Tanah Air. Inti tuntutan berbagai unjuk rasa itu sama: Nurdin Halid mundur! Di kalangan publik sepak bola, Nurdin adalah persona non-grata. Selain dianggap telah gagal memimpin PSSI, statusnya sebagai bekas narapidana dianggap aib dan tidak senapas dengan aturan (Statuta PSSI, Statuta FIFA, Kode Etik FIFA, dan lain-lain).
”Saya ini selalu dituding melanggar statuta. Kalau orang pernah dipidana, tidak boleh mencalonkan diri sebagai ketua umum PSSI. Saya ingin buktikan, itu tidak benar,” kata Nurdin (Kompas, 7/3). Dia membuktikan dengan mencalonkan diri menjadi anggota Komite Eksekutif AFC— dan tidak terpilih—serta Presiden AFF.
Satu hal yang tidak bisa dibuktikan Nurdin, selama delapan tahun PSSI di bawahnya, tidak ada prestasi yang membanggakan. Jika demikian, buat apa memperpanjang kepemimpinannya hingga empat tahun ke depan? Sudahlah, Puang.... (ACI/DIA/SAM)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.