Oleh PRASETYO EKO P
Saat Tim Cahill dan John Aloisi mencetak gol yang memberi Australia kemenangan pertama di Piala Dunia, keduanya telah mencatatkan sejarah. Kemenangan lima tahun lalu atas Jepang di Kaiserslautern itu dipercaya bakal memicu rivalitas olahraga sengit antarkedua negara. Sabtu (29/1) di Doha, rivalitas itu mencapai puncak baru saat keduanya bertemu di final Piala Asia 2011.
Australia barangkali baru bergabung kekonfederasi sepakbola Asia selama lima tahun, tetapi rivalitas dengan Jepang telah mengubah peta persaingan sepak bola di benua terpadat di dunia ini. Bahkan, dinilai ikut mengubah wajah olahraga dikawasan secarakeseluruhan.
”Dalam beberapa tahun ke depan, kami akan melihat ’Socceroos’ melawan Jepang dalam konteks yang sama dengan Bledisloe Cup, atau the Ashes, atau kontes besar lainnya,” kata John O’Neill, seorang pemain rugby asal Australia.
Rugby adalah olahraga terpopuler di Australia dan Bledisloe Cup, yang mempertemukan tim rugby Australia dengan Selandia Baru, adalah rivalitas olahraga tersengit negara itu. Sedangkan the Ashes adalah ajang terbesar dalam kriket, yang mempertemukan Inggris dengan Australia. Bagi mereka yang terlibat, kedua event itu dipandang dalam taraf yang sama dengan laga ”El Clasico” Barcelona-Real Madrid.
”(Rivalitas) itu berpotensi menjadi sebuah ikon, sesuatu yang menawarkan diplomasi olahraga sejati, dan pada akhirnya akan mengubah sepak bola itu sendiri,” tambah O’Neill.
Sejak pertemuan pada Piala Dunia 2006 di Jerman, kedua negara beberapa kali bertemu. Terakhir, keduanya bertarung dalam partai perempat final Piala Asia 2007 di Hanoi. Tampil untuk pertama kalinya sejak bergabung ke Asia, Australia yang diperkuat para pemain bintang yang bermain di kompetisi Eropa membawa kepercayaan diri penuh. Hanya saja, mereka justru tampil memalukan dan kandas di perempat final lewat adu penalti melawan Jepang.
Pertemuan kembali kedua negara dimungkinkan setelah mereka memenangi laga semifinal dalam cara yang kontras. Jepang mengalahkan musuh tradisional mereka, Korea Selatan, lewat adu penalti 3-0, mengakhiri laga keras yang berakhir imbang 2-2 hingga babak perpanjangan waktu. Dalam partai yang berlangsung dramatis, Jepang tertinggal lebih dulu dan berbalik unggul sebelum Korea Selatan menyamakan kedudukan pada detik terakhir perpanjangan waktu.
Sebaliknya, Australia melaju mudah ke final dengan mengalahkan Uzbekistan 6-0. Tim asuhan Holger Osieck ini membungkam kritik yang mengatakan mereka terlalu lambat dan terlalu tua. ”Kami bermain gemilang. Pemain menunjukkan penampilan luar biasa,” kata Osieck. ”Apa yang kami lakukan sungguh fantastis. Ini hadiah tepat bagi rakyat Australia.”
Meski menang dengan sempurna, Australia tidak mau terlalu percaya diri menghadapi Jepang. Kapten ”Socceroos”, Lucas Neill, mengatakan, timnya tidak akan berpuas diri dengan masuk ke final. Mereka bakal fokus memenangi turnamen ini untuk yang pertama kalinya.
”Kami tidak boleh terlalu percaya diri, skor (lawan Uzbekistan) tidak relevan,” ujar Neill, seperti dikutip AFP. ”Fakta bahwa kami menang sangat penting, pemain bakal lebih percaya diri sekarang di depan gawang.”
Pelatih asal Jerman, Osieck, mengetahui sepak bola Jepang luar dalam karena pernah membawa klub besar J-League, Urawa Reds, meraih Liga Champions Asia tahun 2007. Ia percaya, Australia memiliki taktik untuk memenangi gelar di Doha. ”Rahasianya (melawan Uzbekistan) adalah kami bermain menekan. Kami sangat terorganisasi dan selalu mencoba menciptakan peluang,” kata Osieck.
Sementara hasil akhir menunjukkan keunggulan serangan Australia, Osieck sebenarnya lebih fokus pada organisasi
”Itu adalah hasil dari struktur permainan kami,” kata Osieck. ”Semua tim bekerja dalam pertahanan. Kami sangat kompak dan pertahanan dimulai dari striker, mereka terus menekan lawan. Saat lawan membawa bola ke lini tengah, mereka ikut bertahan. Saat merebut bola, kami mulai memainkan permainan kami. Itu terdengar sederhana, tetapi butuh waktu untuk membiasakannya. Semakin sering kami bermain bersama, semakin bagus hasilnya.”
Jepang sendiri juga penuh kepercayaan diri meski tidak akan diperkuat oleh penyerang Shinji Kagawa yang mengalami cedera. Pelatih asal Italia, Alberto Zaccheroni, belum sekali pun merasakan kekalahan sejak menangani ”Samurai Biru” dan tak mau rekor itu patah saat melawan Australia.
Dipimpin oleh trio Kagawa, Shinji Okazaki, dan Keisuke Honda, Jepang menampilkan salah satu gaya sepak bola paling menawan di Qatar. Kehilangan Kagawa dinilai tidak terlalu memengaruhi kekuatan Jepang.
”Hal terbaik mengenai tim ini adalah kami selalu mengeluarkan kemampuan terbaik di lapangan,” tutur Zaccheroni. ”Kami sudah datang sejauh ini. Tentu saja kami sangat ingin memenangi turnamen ini.”