Dalam sebuah temu pers di Sandton Convention Center, Johannesburg, seorang wartawan Afsel bersalaman dan mengajak kenalan. "Anda dari Malaysia atau Thailand?" tanyanya.
Sekali lagi, kebangsaan dan harga diri tertampar. Lalu, seperti biasa harus menjelaskan tentang Indonesia. Segala yang bisa dibanggakan diceritakan, meski kadang lawan bicara seolah tak percaya.
Wartawan Afsel itu pun kembali pertanya, siapa tim yang Anda dukung di Piala Dunia. Kami pun menunjuk tim sesuai selera karena kedekatan lewat layar kaca.
"Tim Anda belum pernah bermain di Piala Dunia, ya?" tanyanya lagi.
Urrrrrrrrrgh...! Pertanyaan yang makin menyebalkan. Seolah, dia ingin membandingkan timnya dengan Indonesia. Soal sepak bola, jelas-jelas kami mati kutu. Tak ada yang bisa kami banggakan, kecuali pernah ikut Piala Dunia 1938. Itu pun, Indonesia masih dijajah Belanda dan memakai nama West Indies, bukan "INDONESIA". Mau cerita tentang timnas Indonesia, kami kesulitan menjelaskannya. Mau cerita soal PSSI, sudah malu sebelum bercerita.
Seorang staf Adidas, Thomas, yang asal Belanda, dengan akrab menyapa. Kami pun menjelaskan dari Indonesia. Dia lalu bertanya, tentu banyak orang Belanda di Indonesia karena pernah dijajah negerinya.
Luka lama pun semakin terkorek, meski dia bertanya tanpa pretensi apa pun. Lalu, kami pun balik bertanya apa yang dia tahu tentang Indonesia.
"Oh, saya tahu banyak Indonesia dan ingin ke sana. Salah satu negara terbesar di dunia. Tapi, anehnya di Belanda, banyak yang tak tahu Indonesia itu negara besar. Mereka kira Indonesia negara kecil," kisahnya.
Pada 10 Juni, sehari menjelang Piala Dunia 2010 dibuka, KBRI mengeluarkan atraksi khas Indonesia, pencak silat, dalam karnaval di Pretoria. Ternyata, masih ada yang mengira itu kung fu dari China. Padahal jelas, tim Indonesia membawa spanduk bertuliskan pencak silat dan Indonesia dan membawa bendera Merah Putih.
Rupanya, Indonesia mungkin masih kurang berkiprah di dunia internasional. Segi teknologi kita dianggap terbelakang. Olahraga tak begitu berbicara, apalagi sepak bola. Segi kebudayaan kurang promosinya. Segi pariwisata malah mulai kalah dari negara tetangga. Negeri demokrasi masih belum teruji. Negeri bahari belum terlalu dimengerti.
Herannya, orang justru lebih kenal negara tetangga. Hampir setengah bulan di Afsel, entah sudah berapa kali disapa sebagai Malaysia. Sulit menghitungnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.