Fenomena ini berdampak jauh pada kinerja organisasi. Pesona kekuasaan membuat sebagian elite NU—kendati dalam jumlah kecil—cenderung abai terhadap nilai-nilai Islam yang dianut NU. Akibatnya, ada kecenderungan NU dijadikan media untuk proses tawar-menawar politik dan alat —kendati mungkin sangat samar —untuk mendulang dukungan yang berorientasi politik praktis atau kepentingan sempit di luar kepentingan jam’iyah, warga, atau bahkan di luar kepentingan bangsa dan negara.
Pada gilirannya, tragedi semacam itu juga menimpa sebagian pesantren. Entah karena latah, sebagian tokoh pesantren juga tertulari virus syahwat politik kekuasaan. Pesantren terkelupas dari visi luhurnya. Dampak yang mulai terlihat, pesantren secara samar-samar mulai ditinggal masyarakat luas.
Keberlangsungan yang dialami NU dan pesantren itu akan menjadikan Indonesia kehilangan civil society yang cukup kokoh. Pada gilirannya, dominasi negara akan kian mencengkeram kuat masyarakat akar rumput.
Kondisi semacam itu menuntut elite NU dan pesantren untuk bersikap lebih arif. Para tokoh NU dan pesantren perlu segera berefleksi kritis. Mereka niscaya mengembangkan diskursus dan praksis yang mengarah kepada pengembangan pendidikan, sosial, ekonomi, keagamaan, dan politik yang lebih transformatif yang membuat bangsa ini lebih merasa sejuk dan sejahtera.
Muktamar kali ini merupakan momen paling tepat untuk memulai hal itu; atau NU dan juga pesantren akan menjadi sekadar gelembung busa yang tanpa arti signifikan bagi Islam, masyarakat, dan bangsa ini pada masa-masa depan.