JAKARTA, KOMPAS.com — Sebagian besar penggila bola mengkritik keras permainan Chelsea ketika tim itu main di Barcelona pada duel semifinal pertama Liga Champions pekan lalu. Kini gantian "The Blues" menjamu "El Barca". Mungkinkah Chelsea kembali bertahan total?
Mari kita berandai-andai seolah Chelsea adalah petinju Muhammad Ali dan Barcelona sama dengan George Foreman. Ketika kedua petinju itu bertemu pada 1974, Ali sengaja memancing Foreman untuk menyerangnya tanpa melakukan balasan sekali pun. Itu berlangsung terus hingga empat ronde hingga Foreman mulai kehabisan tenaga. Di ujung cerita, Foreman yang lemah harus menerima pukulan KO di ronde ke-8.
Jika mengingat duel bersejarah itu, Ruud Gullit sangat yakin bahwa Chelsea tidak pernah keliru mempraktikkan defensive football di hadapan Barca. Mantan pemain Belanda yang pernah menangani klub asal London itu menyebutnya sebagai strategi jitu untuk meredam kekuatan serang "Blaugrana".
"Tidak ada yang salah dengan anti-football, itu dilakukan untuk bertahan," katanya seperti dikutip The Times. "Akankah lebih baik bermain seperti Real Madrid? Itu konyol."
Dalam pandangan Gullit, Madrid adalah korban kekeliruan memakai strategi bermain bola. Pada empat hari setelah duel leg pertama, Madrid menjadi bulan-bulanan "Blaugrana" di Santiago Bernabeu. Bukannya meraih kemenangan dengan ngotot menyerang, "El Real" justru hancur di tangan Lionel Messi dkk, kalah 2-6.
Chelsea tidak seperti itu. Pelatih Guus Hiddink tahu bagaimana cara meredam Barca. Janji menyerang di leg pertama rupanya hanya trik untuk memancing emosi lawan. Salahkah cara Hiddink ini? Bagi pendukung netral, barangkali jawabannya adalah "Ya, salah besar. Memalukan!" Namun, seperti halnya perkataan Pelatih Barca Josep Guardiola, Hiddink juga berhak memainkan jalannya sendiri. Silakan menyerang, kami bertahan. Itu terjemahan dari taktik tadi.
Pada duel kedua, Rabu (6/5), Guardiola tegas menyatakan bahwa timnya tidak akan terpancing oleh strategi apa pun yang bakal diterapkan Hiddink. Barcelona berani mati memburu gol meski bek sentral mereka dalam ancaman.
"Saya hanya tahu satu cara bermain, saya akan menyerang dan mencoba mencetak gol. Saya tidak akan membuang satu detik pun untuk memikirkan apa yang Hiddink katakan tentang set piece," ujarnya.
Guardiola boleh mengingkari ucapannya itu dengan mengubah cara bermain, sama seperti lawannya. Anggaplah Guardiola bukan tipe pelatih seperti itu, maka siapa pun akan terhibur oleh sepak bola menyerang nan cantik seperti sebelumnya. Pasti mantan pemain generasi emas Barcelona itu akan punya cara lain agar serangan pemainnya lebih tajam dan menghasilkan gol di kandang lawan.
Guardiola bisa mendapat keuntungan dari Ashley Cole, yang bakal turun untuk menahan gerakan Lionel Messi. Emosi Cole bisa menjadi bumerang bagi "The Blues", apalagi ia tidak bisa mencicipi duel langsung lawan striker Argentina itu pada leg pertama.