TULISAN ini terinspirasi dari pengalaman diri sendiri sekaligus masukan banyak pihak, khususnya warga. Ini tentang Terowongan Penyeberangan Orang (TPO) Beos. Bagi pembaca yang barangkali tidak mengetahui peristiwa di saat TPO itu mulai dibangun, melintas di TPO tak menimbulkan sensasi apapun. Tapi bagi siapapun yang paham betul – dan mengikuti kasus saat pembangunan - di lahan apa TPO berada, melewati TPO itu tentu akan disambut sekelebatan masa lampau. Seperti berada di abad yang sudah lewat.
Bisa jadi orang lain akan mengatakan, itu hanya perasaan orang-orang tertentu saja, “Romantisme masa lalu yang terlalu dipaksakan.” Bisa jadi, memang. Namun tahukah pembaca bahwa pembangunan TPO ini punya kisah yang tak perlu terulang dalam rangka pembangunan kota? Kisah yang menghilangkan romantisme tadi. Romantisme yang suka atau tidak, sadar atau tidak, tak bisa dilepaskan dari sejarah mahluk hidup.
Ketika TPO mulai dibangun, tanah dikeduk, berbagai temuan arkeologis muncul. Tak aneh, sebab tempat di mana TPO dibangun adalah kawasan bersejarah Jakarta, di mana Jakarta pernah berpusat dengan nama Batavia. Meski jelas-jelas ditemukan tembok kuno, proyek tancap gas, jalan terus, gerus terus. Lantas secepatnya tutup semua. Biar ribut tak berkepanjangan, begitu kan.
Bahwa tembok itu dinyatakan bukan bagian dari tembok Batavia sisi Selatan –seperti yang semula diduga- tapi kenyataan bahwa ada temuan arkeologis tak bisa dilihat sebelah mata. Alangkah bijak jika semua temuan dalam rangka pembangunan TPO bisa tersimpan dan terdokumentasi dengan baik demi penyusunan sejarah kota ini yang barangkali belum lengkap.
Kembali pada inspirasi yang datang dari sebagain warga Jakarta tadi, membayangkan sebagian sisi tembok TPO berdinding kaca yang bisa langsung ditembus mata pejalan di sana. Di balik dinding kaca, terpampang tembok beserta saluran air dan rel trem, yang diperkirakan peninggalan dari abad yang berbeda, yang ditemukan saat pembangunan.
Narasi pun dipersiapkan sehingga pejalan kaki atau siapa saja yang ingin “berwisata heritage” ke sini bisa memahami betapa berharganya TPO itu. Jika dinding kaca tak mampu menahan mengapa tidak berupaya menyediakan satu lahan khusus di TPO itu untuk memamerkan temuan dalam bentuk potongan dan foto-foto saat proses penggalian. Bukankah ini salah satu cara kita menghargai warisan budaya yang ada di Jakarta? Melestarikannya demi kepentingan generasi saat ini dan mendatang sekaligus sebagai sarana menciptakan atraksi pariwisata (dalam hal ini wisata warisan budaya – heritage tourism)?
Romantisme masa lampaukah ini? Terserah bagaimana masing-masing orang menginterpretasikannya. Toh, di negara tetangga – tak usah cari contoh di negeri salju – romantisme masa lalu ini dipelihara dan menghasilkan piti bagi kota mereka.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.