Ronny dan Warna Agung memelopori ”sepak bola sirkus” yang bergaya Brasil. Ia antara lain dibantu Risdianto, Rully Nere, Tinus Heipon, Timo Kapisa, Stefanus Sirey, dan Budi Riva. Warna Agung klub yang cenderung pamer dan nikmat ditonton karena individual skill setiap pemain amat menonjol.
Sebaliknya, Jayakarta lebih mirip Jerman Barat karena Iswadi ”bertangan besi”. Ia kurang bisa menoleransi kesalahan seminimal apa pun. Kalau Warna Agung memperagakan sepak bola menyerang, Jayakarta cenderung defensif. Iswadi bagai magnet yang jadi pusat inspirasi bagi pemain-pemain Jayakarta lainnya, macam Anjas, Sofyan Hadi, Andi Lala, dan Aun Harhara.
Sosok atau kepribadian Ronny dan Iswadi mendominasi dua klub elite yang mereka kapteni itu. Prestasi Warna Agung dan Jayakarta di ajang Galatama relatif stabil dan menjadi pusat produksi sejumlah pemain nasional yang andal. Dan, secara perlahan-lahan kematangan teknis serta kepemimpinan Iswadi dan Ronny menyeret mereka untuk memainkan peranan baru: sebagai libero timnas.
Ketika itu peranan Beckenbauer sebagai libero jadi model yang diminati banyak tim di dunia. Namun, untuk ukuran Indonesia, peranan itu sesungguhnya dimainkan Ronny dan Iswadi untuk menutupi kelemahan timnas PSSI yang paceklik penyerang dan prestasi. Iswadi tampil sebagai libero dengan andalan penyerang macam Hadi Ismanto, sedangkan Ronny jadi dirigen untuk penyerang generasi baru di bawah Hadi Ismanto, seperti Bambang Nurdiansyah dan Bambang Sunarto.
Telah terbukti dua pemain istimewa ini merupakan peletak dasar sepak bola kita. Pada saat prestasi seret mereka masih memainkan peranan penting sebagai kapten ataupun libero dalam usia di atas 30 tahun. Di lapangan hijau yang bekerja praktis bukan fisik mereka yang sudah tak prima lagi, tetapi otak dan leadership mereka.
Ya, otak dan leadership itulah yang kini tak ada lagi di jajaran timnas ataupun PSSI. Tak ada pemimpin lagi di organisasi ataupun di lapangan hijau, yang ada hanya pemain dan pengurus berkelas follower. Ironisnya, nyaris tak ada apresiasi dari pemerintah terhadap pengabdian yang disumbangkan untuk bangsa ini oleh Ronny dan Iswadi.
Prestasi dan kondisi timnas ataupun pengurus PSSI makin tak karuan. Ketua umumnya dipenjara, timnas jadi juara hanya gara-gara Libya kalah WO karena pelatihnya digebuki. Saya hanya menyesali Ronny dan Iswadi masih belum bisa menikmati prestasi timnas dan pengurus PSSI yang patut dibanggakan sampai mereka dipanggil ke haribaan-Nya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.