Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Manchester City, Bayang-bayang, dan Ketika Langit Menjadi Biru

Yang menarik adalah video berawal dari bayang-bayang yang terbang di angkasa. Kala itu, ia terbang ketika langit menjadi biru.

Bayang-bayang terlihat abstrak, terdiri dari kumpulan benda yang beraneka bentuk; telinga yang begitu lebar, kaki yang begitu kecil, kepala yang lonjong melebihi normal. Ia terlihat seperti monster.

Semakin ia terbang, bayang-bayang terlihat seperti hewan kecil kelompok serangga; ia seekor capung. Kemudian ia melintasi langit nan kala itu kebiru-biruan seperti menikmati petualangan.

Di langit yang biru, bayang-bayang terlihat begitu kontras. Ia menciptakan warna hitam pekat sehingga tampak kontras dengan biru langit dan awan putih yang terlintas silih berganti.

Oleh karena itu, di langit yang biru terdapat lukisan objek tiga warna: Bayang-bayang (mungkin seekor capung), awan putih, dan langit biru.

Yang menggoda adalah semakin tinggi bayang-bayang capung terbang di langit yang biru, ia juga semakin berubah rupa.

Perubahan itu adalah objek yang menggoda ribuan mata viewers. Berawal dari monster buruk rupa, bayang-bayang seekor capung, hingga terlihat sebagai sosok manusia bertelinga gajah.

Ketika bayang-bayang semakin tinggi, ia mulai menampakan diri. Sejatinya adalah bayang-bayang adalah hasil pancaran semata dari objek atau fakta yang pandai bersembunyi. Ia seperti tontonan wayang bahwa bayang-bayang hanyalah pancaran fakta di belakang layar.

Begitulah yang terjadi di pemandangan langit yang biru, ia bukanlah bayang-bayang seekor capung, melainkan rupa seorang manusia. Seorang manusia bermain-main di belakang layar sehingga yang terlihat hanyalah bayang-bayang.

Ia terlihat memiliki dua telinga lebar—“Si Kuping Besar”, terkadang mirip telinga gajah. Ia juga memiliki kepala model lonjong dan bulat, dua kaki kecil dan mungil, serta dua tangan yang memegang erat sebuah piala “Si Kuping Lebar”—trofi Liga Champions Eropa.

Tak hanya sampai pada rupa manusia, semakin ia terbang wajahnya juga begitu terlihat jelas. Manusia itu adalah Pep Guardiola, pelatih Manchester City yang baru memenangkan Trofi Liga Champions pertama untuk Manchester City, sekaligus Treble Winners pertama dalam sejarah klub yang sudah berusia 143 tahun (sejak 1880).

Matanya menatap ke atas. Ia seperti sedang menuju ke keabadian sebagai pelatih hebat sepanjang masa (Greatest of all the time).

Di balik trofi yang ia gengam sembari terbang di langit biru, lambang Manchester City juga terlihat kebiruan.

Apakah video tersebut mengandung makna bahwa Pep Guardiola pantas dijadikan pelatih terbaik sepanjang masa? Pertanyaan ini mengandung sisi problematik tiada akhir.

Barney Ronay, kepala penulis olahraga untuk media kiri Inggris, The Guardian, memuji Pep Guardiola dalam artikel “Guardiola the GOAT? Beyond the billions he has changed world football” (09/06/23).

Ia menulis, “Istanbul adalah The New Cool. Atau setidaknya itu [julukan Istanbul] menurut iklan terbaru kota tersebut, kumpulan anak muda yang membosankan parkir di jalan-jalan Binzantiun, bermain-main di istana Ottoman…Hmmm. Istanbul: temui Pep.”

Istanbul bukan hanya kota ikonik final Liga Champions melainkan Guardiola menjadi magnet kota penuh bersejarah itu. Artikel Ronay pun dilengkapi gambar editan Pep Guardiola menatap tajam trofi Liga Champions.

Dengan demikian, Apakah ia layak disebut “GOAT”? Seperti makna di balik bayang-bayang yang terbang ketika langit menjadi biru?

Kemenangan Manchester City

Opta Analyst memberikan prediksi pada Final Liga Champions di Istanbul, Turki. Manchester City keluar sebagai kandidat juara dengan perolehan 64,6 persen, sedangkan Inter Milan 16,4 persen.

Kemudian menjelang malam final di Atatürk Olympic Stadium, Istanbul, City mendominasi 74.1 persen untuk mengangkat trofi.

“Semua prediksi mengarah ke kemenangan Manchester City. Mereka adalah tim terbaik di planet ini dan mereka telah menunjukan bahwa pada dasarnya tidak mungkin bagi tim mana pun untuk bersaing dengan model sepak bola yang mereka miliki. Satu-satunya harapan bagi Inter adalah City tidak dalam kondisi terbaik mereka atau terjadi kesalahan di area yang berbahaya. Jika City memainkan gaya yang mereka miliki, semuanya akan berakhir pada sebuah prosesi [kemenangan]” Tulis Opta (10/06/23).

Para pengamat sepak bola juga mayoritas mendukung Manchester City sebagai juara. Gareth Bale memberikan skor tanpa ampun, 5-0 untuk City.

Prediksi Bale, legenda Real Madrid yang mencetak gol indah pada final Liga Champions melawan Liverpool pada 2018, ibarat analogi yang mengatakan bahwa Dunia Sepak Bola berpihak pada Manchester City; langit akan berubah dari putih (Real Madrid juara 2022) menjadi biru-kebiruan seperti julukan City, “The Sky Blues”.

Prediksi hanyalah angka yang akan terwujud dalam hitungan waktu di Istanbul. Sebab hampir semua pilihan berpihak pada kemenangan Manchester City di negara The Sick Man of Europe, julukan Turki yang pernah mengalami kemerosotan ekonomi di bawah sistem bobrok dan korup kekaisaran Turki Ottoman pada abad 19.

Di bawah 75.000 penonton dan gema sorak-sorai kedua kubu di Atatürk Olympic Stadium-Istanbul, Manchester City menahbiskan diri sebagai raja baru sepak bola Eropa setelah menang 1-0 atas Inter Milan.

Gol semata wayang Rodrigo pada menit ke 68 menjadi kunci kemenangan tipis The Citizens atas Il Nerazzurri.

Halaman resmi UEFA merilis statistik setelah pertarungan sengit laga final. Manchester City mendominasi permainan dengan penguasaan bola 57 persen, sedangkan Inter Milan 43 persen; akurasi operan 87 persen untuk City dan 83 persen untuk Inter; jumlah operan 513 untuk City dan 401 untuk Inter.

Akan tetapi, Inter memberikan perlawanan sengit dengan mendominasi 14 tembakan ke gawang City, dengan 5 tembakan on target. Sedangkan City hanya melakukan 7 tembakan dengan 4 on target ke gawang Inter.

Andai saja sepakan Lautaro dan tandukan maut Lukaku berubah menjadi gol untuk Inter, maka Atatürk Olympic Stadium melahirkan kisah beda cerita.

Kemenangan Manchester City juga berkat kontribusi para pemain. Mereka yang berjuang di atas rumput hijau adalah pahlawan utama.

Walaupun suara-suara mengagungkan mereka bagai sosok dewa, sejatinya tetesan keringat mereka mirip seorang hamba yang mengikuti apa kata pelatih. Semua itu demi kejayaan dan Bonum Commune (kebaikan bersama).

Media kota Manchester, Manchester Evening News (11/06/23), memberikan nilai atas hasil perjuangan gigih pasukan The Citizens.

Ederson dan Stones mendapat nilai tertinggi, 9; Ruben Dias sebagai benteng kokoh, nilai 8; Rodri, sang pahlawan, nila 7 bersama Ake dan Bernardo Silva; dan Haaland, Grealish, Gundogan, dan Akanji mendapat nilai 6; sedangkan De Bruyne mendapat nilai terendah 4 karena cedera.

Melihat segala statistik, pencapaian luar biasa, dan gaya permainan indah berkat sentuhan Guardiola, Manchester City secara terhormat keluar sebagai juara Liga Champions Eropa.

Mereka juga disorak bagaikan sang nabi yang memasuki kota Manchester saat parade kemenangan dan treble winners pada 12 Juni 2023.

Gelar “Raja Baru” sepak bola benua biru didapatkan secara layak. Guardiola dan seluruh pemain pantas dipuja bagaikan dewa.

“Manchester City di bawah Pep Guardiola selalu ditakdirkan untuk menjadi Raja Eropa,” kata Daniel Murphy di Manchester Evening News (10/06/23).

Akhirnya, semua kebahagiaan City dilengkapi pemandangan menarik pagi hari Kota Manchester, kala itu jam 6 pagi.

Terlihat Jack Grealish dan Erling Haaland saling merangkul, melompat-lompat dengan iringan musik pesta. Yang menarik adalah Grealish berpesta dengan pakaian lengkap yang digunakan saat partai final melawan Inter.

Namun, sedikit luput dari objek utama itu, mereka berpesta ketika langit menjadi biru di Kota Manchester.

https://bola.kompas.com/read/2023/06/18/12383248/manchester-city-bayang-bayang-dan-ketika-langit-menjadi-biru

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke