Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

"Mending WO" Trending, Menyakiti Pemain Timnas Putri dan Bukan Solusi

KOMPAS.com - Kata-kata "mending WO" yang sempat menjadi trending topic di Twitter dianggap tak berguna dan secara tak langsung melukai para pemain timnas putri Indonesia yang menderita kekalahan 0-18 pada laga pembuka Grup B Piala Asia Wanita 2022, Jumat (21/1/2022).

Timnas putri Indonesia menderita kekalahan terbesar sepanjang sejarah saat menghadapi tim unggulan turnamen, timnas Australia.

Kekalahan melawan Australia wajar mengingat The Matildas adalah tim dengan peringkat FIFA tertinggi di turnamen (11) dan diperkuat pemain-pemain yang merumput antara lain bagi Manchester City, Arsenal, Chelsea, dan Tottenham.

Apalagi, mereka langganan Piala Dunia Wanita setiap tahunnya sejak 1995 dan menembus semifinal Olimpiade 2020.

Selain itu, di skuad Australia juga ada Ellie Carpenter, juara Liga Champions Wanita bersama Olympique Lyon pada 2020, dan tentu saja Sam Kerr, pemain Chelsea yang menjadi nomine Ballon d'Or Wanita.

Sementara, para pemain timnas wanita Indonesia datang ke turnamen ini tanpa pengalaman kompetisi setelah Liga 1 Putri tak lagi bergulir sejak 2019.

Apalagi, TC timnas juga dikabarkan sempat telat bergulir karena kendala finansial.

Alhasil, Zahra Muzdalifah dkk harus menerima kekalahan dengan skor mencolok 0-18. Angka kekalahan yang mencapai dua digit ini pun mengundang reaksi dari publik Indonesia.

Melalui media sosial, tagar "mending WO" sempat bergema dari setelah laga hingga keesokan harinya.

Tagar tersebut pun membuat Retno Annisa Utami, co-founder @womensfootie_id dan pemerhati sepak bola wanita kecewa.

"Kata-kata 'mending WO' itu menyakiti hati pemain kita secara tak langsung," ujarnya kepada Kompas.com pada Minggu ini.

"Yang harus ditanyakan itu kenapa PSSI seperti tidak ada effort buat menggulirkan kompetisi secara konsisten. Akibatnya, kita lihat kemarin."

"Australia, terutama A-League Women itu sekarang jadi panggung bersinar para pemain muda di Australia apalagi setelah sebagian besar pemain bintang pindah ke Eropa," lanjutnya.

"Sementara kita? Mohon maaf, sebagian besar pemain terpaksa main fun football saking tak jelasnya kompetisi kita."

Retno pun mengingatkan kepada para pecinta sepak bola Tanah Air yang bersuara sumbang kalau WO alias mengakui kekalahan sebelum bertanding tak solutif.

"Saya jelas sangat kesal sejak semalam," tuturnya melanjutkan. "Saya cuma ingin bilang kalau 'mending WO' itu bukan solusi."

"Biarkan pemain bertanding dan merasakan jam terbang di kompetisi besar seperti Piala Asia."

"Biarpun beda kelas, harusnya PSSI juga evaluasi diri bagaimana caranya untuk mengejar ketertinggalan tersebut."

"Satu hal lagi, kita juga tak boleh menyerang akun media sosial pemain lawan setelah kekalahan. Ini memalukan sekali."

Ketiadaan kompetisi tersebut mengundang perhatian dari pengamat sepak bola Weshley Hutagalung.

"Kalau bicara sepak bola putri, tahun 1970-an dan 1980-an kita sudah main di Piala Asia," ujar Weshley dalam sebuah acara bincang sepak bola di suatu televisi berita nasional.

"Meski pesertanya 6-7 tim tetapi kita bisa lolos dari fase grup dan bahkan masuk semifinal pada 1977 dan 1986. Itu sudah kejadian."

"Tetapi, semua hilang begitu saja karena tak menarik untuk dikelola, tidak ada uangnya. Jika itu tak ada dalam pikiran federasi, jangan berharap kita bisa langsung riding the wave."

"Ketika timnas putri akan bertandang ke Piala Asia Wanita, langsung ramai pemberitaan dan di media sosial."

"Semua ikut naik ombak pemberitaan, seolah berjasa membangun kompetisi dan mengantar timnas lolos ke putaran final."

"Ketika kondisinya sudah seperti ini, apakah masih ramai?"

Selain itu, Weshley juga mengutarakan bahwa "mending WO" adalah ekses dari era keterbukaan informasi dan komunikasi.

"Semua boleh berpendapat dan memunculkannya ke publik lewat berbagai saluran komunikasi," ujarnya kepada Kompas.com.

"Namun, pernyataan ini seolah menganggap lebih baik pemain kita tidak bertanding, tidak berusaha, tidak menjaga kebanggaan sebagai pemain nasional karena sudah kalah sebelum usaha."

"Kita malu, ya. Kita sedih, ya. Tapi, hendaknya sorotan itu diarahkan pada pengelola sepak bola di Indonesia, terutama PSSI yang bertangggung jawab terhadap pengelolaan tim nasional."

"Istilahnya, apakah sudah berusaha sebaik mungkin untuk membentuk, mempersiapkan, mempersenjatai, dan mengirimkan 'tentara putri' ke medan pertempuran?"

"Kalau 'jendera' berani mengirimkan 'tentara' tanpa pengalaman dan senjata mumpuni ke medan perang, 'sang jenderal' juga harus berani mempertanggungjawabkan hasilnya kepada 'keluarga tentara' alias masyarakat Indonesia."

Hal serupa juga diutarakan Rossi Finza dari The Flanker dan Box2box Football Podcast yang mengatakan bahwa kritik terhadap pemain itu bisa dimaklumi, tetapi konteks juga harus tetap diperhatikan.

"Atlet dapet kritik itu wajar," ujarnya. "Tapi, sebelum ambil kesimpulan terburu-buru, coba liat konteks situasi dan persoalannya."

"Misalkan yang kalah 0-18 itu tim profesional yang tiap hari berkompetisi dan berlatih bareng klub profesional semuanya, kritik keras bisa dimaklumi."

"Namun, hal tersebut kan tak berlaku bagi timnas putri kita."

https://bola.kompas.com/read/2022/01/22/20454318/mending-wo-trending-menyakiti-pemain-timnas-putri-dan-bukan-solusi

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke