Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Benarkah dari 250 Juta Penduduk Indonesia, Tak Ada 11 Orang yang Bisa Bermain Bola?

JAKARTA, KOMPAS.com - Tak ada yang bisa memungkiri bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah pencinta sepak bola terbesar di dunia.

Besarnya kegilaan pencinta sepak bola di Indonesia mungkin lebih besar daripada tiga negara lain yang jumlah penduduknya lebih banyak dari Indonesia, yakni China, India, dan Amerika Serikat.

Dalam banyak referensi, China dan Amerika Serikat adalah dua negara dengan jumlah penduduk besar yang masih berupaya memopulerkan sepak bola. Demikian juga India.

Adapun Indonesia, saking besarnya pencinta sepak bola, ada informasi yang menyebutkan jumlah pendukung Liverpool di Indonesia bahkan lebih besar daripada di negara asalnya, Inggris.

Sayangnya, tingginya kegilaan masyarakat Indonesia pada sepak bola belum berbanding lurus dengan prestasi tim nasional Indonesia.

Di sisi lain, ada beberapa cabang olahraga lain yang malah lebih sering mendatangkan prestasi dan kebangganan untuk masyarakat Indonesia.

Belum berprestasinya timnas sepak bola Indonesia bisa terlihat jelas.

Bisa dilihat dari pencapaian timnas senior di berbagai kejuaraan resmi di bawah FIFA.

Prestasi timnas senior adalah acuan untuk mengukur prestasi dan peringkat dunia dari negara-negara yang tergabung di FIFA.

Jika dilihat pencapaian timnas senior Indonesia, jangankan Piala Dunia, untuk menembus Piala Asia saja sudah sulit.

Indonesia bahkan tak pernah lagi tampil di Piala Asia dalam tiga edisi terakhir, masing-masing pada tahun 2011, 2015, dan 2019.

Jika menurunkan ke level yang lebih rendah, hampir tak ada prestasi yang bisa dibanggakan dari timnas Indonesia di ajang Piala AFF.

Dalam lima kali gelaran Piala AFF, timnas Indonesia dua kali masuk final dan tiga kali gagal lolos penyisihan grup.

Berbicara kualitas kompetisi, Liga Indonesia juga tidak lagi mendapat jatah untuk mengirim wakil ke kompetisi antarklub paling bergengsi di Asia, Liga Champions Asia.

Lantas, apa yang salah dari sepak bola Indonesia?

Mungkin kita sering mendengar celetukan yang dilontarkan banyak orang setiap melihat timnas Indonesia mengalami kegagalan.

Celetukannya kira-kira seperti ini: "Masa sih dari 250 juta orang, enggak ada 11 orang yang bisa bermain bola?"

Pertengahan Januari silam, Kompas.com sempat bertemu dengan Timo Scheunemann di sela-sela kegiatan pemusatan latihan tim Garuda Select di Como, Italia.

Timo adalah orang Jerman yang lama tinggal dan malang melintang di sepak bola Indonesia.

Ia kini jadi penerjemah teknis dalam program Garuda Select.

Dia yang jadi jembatan penghubung komunikasi antara para pemain dengan tim pelatih asal Inggris yang dikomandoi dua mantan penggawa timnas Inggris, Dennis Wise dan Des Walker.

Dalam sebuah percakapan, Timo sempat menceritakan tentang sepak terjang Rafli Asrul, gelandang serang Garuda Select.

Rafli adalah remaja asal Enrekang, Sulawesi Selatan, daerah yang berjarak sekitar 225 kilometer dari Ibu Kota Provinsi, Makassar.

Rafli adalah pemain PSM U16 saat berlaga di kompetisi Elite Pro Academy U-16 tahun 2019 silam. Ia adalah top skor turnamen tersebut dengan torehan 14 gol.

Prestasi tersebut yang membuatnya langsung masuk radar tim pencari bakat sampai akhirnya diikutsertakan dalam program Garuda Select.

Rafli adalah pemain yang masuk PSM karena kebetulan.

Dalam sebuah turnamen, tim yang dibelanya berjumpa dengan tim junior PSM.

Pertemuan itulah yang membuat bakat Rafli terendus. Jadi, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi seandainya Rafli dan tim lamanya tidak bertemu PSM.

Bisa jadi, bakat besarnya itu tak pernah diketahui banyak orang.

Timo berujar faktor kebetulan itulah yang tidak terjadi di Jerman.

Menurut dia, Federasi Sepak Bola Jerman (DFB) punya tim yang khusus untuk mencari bakat-bakat terbaik yang ada di negara tersebut, bahkan hingga ke pelosok negeri.

Ia berujar DFB menerapkan sistem yang baik hingga tidak ada satu pun pemain berbakat yang lepas dari pantauan.

Atas dasar itu, Timo tak setuju dengan celetukan bahwa Indonesia tak punya 11 orang yang bisa diandalkan untuk bermain sepak bola.

"Bukannya tidak ada, melainkan karena tidak dicari," ujar Timo yang juga fasih berbahasa Jawa itu.

Ucapan Timo mungkin ada benarnya jika berkaca pada cerita dua juru taktik lokal yang berpengalaman dalam mencari pemain muda berbakat, Indra Sjafri dan Fakhri Husaini.

Pada Oktober 2018, Fakhri sempat mengeluhkan minimnya kompetisi usia dini di Indonesia.

Fakhri mengaku sempat datang ke salah satu provinsi dan berbincang dengan pelaku sepak bola yang ada di sana.

Dari informasi yang ia peroleh, turnamen pemain usia muda hanya marak jelang pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada).

"Kompetisinya ada setiap empat tahun sekali. Awalnya, saya mengira mau mengikuti waktu Piala Dunia, tetapi ternyata buat pilkada. Jadi, kalau sudah mau pilkada, baru ada kompetisi," ucap Fakhri saat kunjungannya ke kantor Redaksi Tabloid Bola, Palmerah, Jakarta, Kamis (4/10/2018).

Fakhri sempat mengapresiasi turnamen-turnaman usia muda yang diadakan pihak swasta, salah satunya Liga Kompas Gramedia.

Namun, ia menilai turnamen seperti itu hanya terbatas di kota-kota besar, khususnya di Pulau Jawa.

Karena itu, Fakhri sempat mengusulkan agar setiap provinsi mengadakan turnamen yang diikuti minimal 10 klub saja.

Jika masing-masing klub diisi minimal 15 pemain, akan ada 150 pemain yang ada di provinsi tersebut.

Jika dikalikan 34 provinsi, ada potensi Indonesia akan memiliki pasokan pemain muda berkualitas yang berlimpah untuk kebutuhan tim nasional.

"Kalau ada 150 pemain di provinsi itu, kalikan saja dengan 34 provinsi. Masa nyari 40-50 pemain bagus saja tidak dapat. Tiap provinsi ada minimal dua saja sudah bagus," ujar mantan kapten timnas Indonesia ini.

Pengalaman yang dialami Fakhri juga sempat dialami Indra Sjafri.

Pada 2013 silam, Indra sempat menceritakan kesulitannya dalam menemukan pemain berbakat karena minimnya kompetisi usia dini.

Akhirnya, Indra memilih "blusukan" berkeliling Indonesia.

Ia akhirnya menemukan Zulfiandi dari Bireuen Aceh; Evan Dimas dari Surabaya; Ilham Udin Armayn dari Ternate, Maluku Utara; Maldini Pali dari Sulawesi Barat; hingga Yabes Roni Malaifani dari Alor, NTT.

Dengan blusukan, Indra sadar bisa menemukan anak-anak daerah yang lahir dengan bakat alami. Selain itu, Indra meyakini, meraih keberhasilan harus ditempuh dengan metode pemilihan yang jujur, perencanaan terstruktur, kerja sama, dan kerja keras.

"Jika langkah ini diikuti oleh seluruh pihak yang menggeluti sepak bola di Indonesia, akan banyak potensi tergali dari anak bangsa," tutur Indra.

Kini, kompetisi usia dini mulai marak.

Elite Pro Academy yang diperuntukkan bagi para pemain U16 dan U18 mulai rutin digelar dalam beberapa tahun terakhir.

Piala Soeratin yang sempat vakum juga mulai diaktifkan lagi. PSSI bahkan sudah membaginya menjadi dua kategori, yakni U15 dan U17.

Piala Soeratin U15 2019 baru saja berakhir belum lama ini.

Dari turnamen tersebut, ada tiga pemain yang dipanggil masuk mengikuti pelatihan timnas U15 Indonesia asuhan Bima Sakti.

Ketiganya adalah Aditya Ramadhan dari klub PSSA Asahan, Sumatera Utara; serta Yanari Ipung Kurniawan dan Krisna Sulistia Budianto dari Gabsis Sambas, Kalimantan Barat.

Khusus Krisna, jebolan SSB Djarum Kudus itu bahkan tak hanya dipanggil ke pemusatan latihan timnas U-15, tetapi juga diterbangkan ke Inggris untuk mengikuti sisa waktu program Garuda Select yang akan berakhir April mendatang.

Kita tentu berharap ke depannya ada semakin banyak talenta berbakat seperti Rafli, Aditya, Yanari, dan Krisna yang muncul ke permukaan.

Di pundak merekalah kita berharap masa depan sepak bola nasional yang lebih cerah.

Talenta-talenta berbakat ini baru bisa ditemukan jika dicari ke berbagai pelosok negeri.

Tentu jadi kebanggaan tersendiri melihat timnas Indonesia yang berisikan komposisi para pemain yang berasal dari berbagai daerah, dari Sabang sampai Merauke.

Itu lebih baik daripada melihat timnas yang berisikan pemain-pemain asing hasil naturalisasi yang sudah tidak lagi berada dalam usia emas.

https://bola.kompas.com/read/2020/03/10/06450078/benarkah-dari-250-juta-penduduk-indonesia-tak-ada-11-orang-yang-bisa-bermain

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke