Organisasi yang sudah ada sejak tahun 1882 itu berasumsi bahwa pengunaan hijab maupun atribut pakaian Islam lainnya dapat membatasi kebebasan para atlet.
Presiden organisasi tersebut, Annie Sugier, menyerukan agar negara-negara Islam tidak mewajibkan atlet wanita untuk berhijab.
Penulis buku How Islamism Perverted the Olympics secara pribadi menilai hal itu bertentangan dengan Piagam Olimpiade.
"Ini adalah waktu yang tepat untuk panitia penyelenggara Olimpiade 2024 bereaksi dan menerapkan prinsip universal dari Piagam Olimpiade," ucap wanita berusia 77 tahun itu.
Untuk mendukung argumennya, Sugier menyoroti bahwa Piagam Olimpiade menyatakan tidak ada "propaganda agama" apa pun yang diizinkan di setiap tempat Olimpiade atau area lainnya.
Padahal, Sarah Attar, atlet berkebangsaan Arab Saudi yang lahir dan dibesarkan di Amerika, berlaga pada Olimpiade 2012 dengan hijab dan hal itu tak menjadi masalah.
Selain Attar, ada juga atlet anggar, Ibtihaj Muhammad, yang meraih medali perunggu Olimpiade 2016.
Keberhasilan Muhammad ini sekaligus menjadikan dia sebagai wanita muslim Amerika Serikat (AS) pertama yang mendapatkan medali Olimpiade.
Di sisi lain, Perancis memiliki sejarah sebagai sebuah negara yang dikenal anti-Islam. Pada tahun 2010, Pemerintah Perancis mengeluarkan undang-undang tentang pelarangan penggunaan cadar di depan publik.
Berdasarkan aturan itu, siapa pun yang melanggarnya akan dikenakan denda sebesar 150 euro.
Peraturan tersebut lantas menimbulkan kontroversi dan sempat dibawa ke Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa (ECHR).
Pada tahun 2018, Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) memutuskan bahwa larangan itu disebut sebagai pelanggaran HAM yang berisiko membatasi wanita muslim. (Nestri Yuniardi)
https://bola.kompas.com/read/2019/02/05/15430098/munculnya-seruan-larangan-berhijab-pada-olimpiade-paris-2024